Thursday, April 8, 2010

Dunia Jawah - The Jawah World - Al 'Alam Al Jawi


(Sekedar Catatan Sebelum Membaca:

1 - Saya menulis catatan ini bersumber dari buku-buku Arab. Karena saya merasa—atau mungkin saya tidak tahu-- bahwa penulisan sejarah kita hanya sedikit merujuk pada referensi-referensi Arab yang ditulis oleh orang-orang Arab di negerinya. Kalau pun ada hanya berasal dari tangan kedua, yaitu para orientalis yang memiliki tendensi dalam membahas sesuatu.

2 - Saya menuliskan catatan ini dengan maksud mengajak pembaca untuk menemukan kembali identitas kita yang pernah menyatukan kita semua—anak-anak negeri Nusantara—yang kemudian dikoyak-koyak penjajah Barat dengan berpijak pada kebanggaan masa lalu kita bersama yang berpijak pada ajaran agama.

3 - Saya menuliskan kata-kata "Jawah" tidak bermaksud untuk memunculkan klan saya. Karena membanggakan klan adalah seruan Jahiliyah yang diperangi oleh agama kita.

"Jawah" yang saya maksudkan di sini adalah nama lain dari Melayu yaitu bangsa dan ras kita bersama dimana orang-orang Arab zaman dulu menyebut nenek moyang kita sebagai "Al Jawiyun" atau "Orang-Orang Jawah". Dan, mereka menamakan tanah air kita dengan "Bilad Jawah" atau "Negeri Jawah".)
---------------------------------------------

DALAM Istilah geografi Arab Zaman Pertengahan (dan hingga kini masih kerap dipakai), setiap negeri memiliki julukan sendiri sesuai dengan ras atau bangsa yang mendiaminya. Disana ada Biladul Arab (Negeri Arab, yaitu julukan untuk negeri-negeri Arab di Semenanjung Arabia), Biladu Faris (Negeri Persia, yaitu Iran dan Transoxiania atau Ma Wara'a An Nahr), Biladul Kurd (Negeri Kurdi), Biladut Turk (Negeri Turki), Biladu Ifranj (Negeri Eropa/Franks) dan Biladu Jawah (Negeri Jawah/Melayu/Nusantara).

Orang Arab kuno mengenal kepulauan yang membentang pada jalur pelayaran setelah India menuju daratan Cina (Kanton) sebagai "Bilad Jawah" atau "Kepulauan Jawah".

Ahli geografi Arab termasyhur Imaduddin Ismail bin Muhammad bin Umar atau yang dikenal dengan Abul Fida (wafat tahun 732 H.) berkata dalam bukunya "Taqwimul Buldan":
"Di antara kepulauan Lautan India adalah Pulau Jawah yaitu satu pulau besar terkenal karena banyak rempah-rempah/obat-obatan (al 'aqaqir) …
Di sebelah selatan Pulau Jawah ini terdapat kota Fansur yang dinisbatkan padanya Kapur Fansur (Kapur Barus) …
" (Taqwimul Buldan, hal. 369. Dar Shadir, Beirut, Lebanon).


Sebenarnya yang dimaksud oleh Abul Fida dengan Pulau Jawah di atas adalah Pulau Sumatra atau yang dikenal oleh orang-orang Arab sebagai Jawah Ash Shugra (Jawa Minor), karena kota Fansur terdapat di Aceh, ujung utara Pulau Sumatra.


Ibnu Batutah--pengembara Maroko— yang melawat ke Samudra Pasai pada tahun 745 H./1344 M. bercerita dalam bukunya "Tuhfatun Nudhdhar Fi Ghara'ibil Amshar":
" … Setelah duapuluh lima hari, kami sampai di Pulau Jawah, yaitu dimana dinisbatkan padanya Lubban Jawi (Kapur Jawa atau Kapus Barus). Selama setengah hari kami melihatnya (sebagai) sebuah pemandangan hijau berseri …
Kemudian kami masuk menghadap Sultan yaitu di kota Samuterah, satu kota bagus besar yang memiliki dinding kayu dan menara kayu. Dan Sultan Jawah adalah Raja Zahir …"
(Tuhfatun Nudhdhar Fi Ghara'ibil Amshar, hal. 619).


Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Batutah tengah berlabuh dan memasuki Pulau Sumatra, tepatnya Kesultanan Samudera Pasai, di Aceh.

Doktor Hussein Mo'nis sejarawan muslim Mesir yang mengutip dari berbagai sumber mengatakan bahwa asal kata "Sumatera" yang sekarang kita kenal berasal dari kata "Samutera" yang asal katanya "Samudera". Karena di ujung utara pulau tersebut terdapat kerajaan bernama Samudera atau Samudera Pasai.

(Ibnu Batutah Wa Rihlatuhu; Tahqiq wa Dirasah Wa Tahlil, Dr. Hussein Mo'nis, 192-193, Darul Ma'arif, Cairo).


Sedangkan sebelumnya pulau itu dikenal oleh orang-orang Arab dengan "Jawa Ash Shugra" (Jawa Minor). Dan Dr. Ali Al Montasir--sejarawan Arab yang mengeditkritik buku Ibnu Batutah itu—mengatakan bahwa kata "Jawah" adalah julukan bagi semua pulau yang ada di Nusantara.

(Tuhfatun Nudhdhar Fi Ghara'ibil Amshar, hal. 619).


Kemudian setelah meninggalkan Samudera Pasai, Ibnu Batutah melanjutkan perjalanannya menuju Cina. Dalam perjalanan beliau melihat "Mul Jawah" atau apa yang dikatakan oleh para sejarawan sebagai "Semenanjung Melayu" atau Semenanjung Malaysia sekarang.

(Tuhfatun Nudhdhar Fi Ghara'ibil Amshar, hal. 623).


Dari sini kita dapat tahu bahwa Pulau Sumatera, Samudera Pasai dan Semenanjung Melayu yang kita kenal, dulu dikenal juga sebagai Pulau Jawah dan Semenanjung Jawah.

*****

Semenjak masuknya Islam pertama kali ke Kepulauan Nusantara melalui Kerajaan Samudera Pasai maka tidak sedikit para penduduk Kepulauan Nusantara (Bilad Jawah) yang pergi ke Negeri Arab.

Sejarawan Arab yang juga penulis ensiklopedi geografi "An Nisbah Ilal Mawadli' Wal Buldan" atau "Penisbatan Pada Tempat dan Negeri" Jamaluddin Abdullah At Tayyib Bin Abdullah Bin Ahmad Bamakhramah Al Himyari Al Hadrami (wafat tahun 947 H.) bercerita tentang penduduk Bilad Jawah ini melalui penamaan asal (nisbat):
"AL JAWI: Dinisbatkan kepada Jawah (setelah huruf Alif; huruf Wawu berfathah, kemudian huruf Ha'. Maksudnya kata "Jawah", penulis.), sebuah negeri (bilad) pada pantai Laut Cina setelah negeri India. Dari sana didatangkan Kayu Gaharu (Al 'Oud), Kapur (Kafur. Maksudnya, Kapur Barus) dan Cengkeh ke semua negeri, (perkataan ini) disebutkan oleh Al Qadli Mas'ud. Dan dari tokoh yang dinisbatkan kepada (negeri) Jawah adalah Syeikh Wali Yang Shaleh Mas'ud Al Jawi yang dimakamkan di Aden, (perkataan ini) disebutkan oleh Imam Abdullah bin Sa'ad Al Yafi'i dan ia memuji beliau karena (beliau) penentang Imam Al Bassal" .

(An Nisbah Ilal Mawadli' Wal Buldan, Hal. 133).

Syeikh Abu Abdullah Mas'ud bin Abdullah Al Jawi adalah tokoh terkenal yang disebutkan oleh Syeikh Yusuf An Nabhany dengan mengatakan "Syeikh Al Jawi adalah ulama terkenal yang mempunyai banyak murid di Aden (Yaman)".


Lihatlah nama belakang beliau, orang Samudera Pasai tapi bernama belakang Al Jawi. Ini adalah bukti bahwa Jawah adalah bukan nama asing pada waktu itu, tapi ia adalah nama yang dikenal luas dan bukan milik suku tertentu.

Bukan hanya beliau sendiri yang menggunakan nama belakang Al Jawi. Masih banyak ulama-ulama Nusantara yang menggunakan nama Al Jawi.

Syeikh Abdurrauf Singkel Al Jawi--ulama terkenal asal Singkil, Aceh--penulis terjemah Al Qur'an pertama dalam bahasa Jawi (Melayu berhuruf Arab) yang bernama "At Tarjuman Al Mustafid".


Syeikh Abdurrauf Singkel Al Jawi dikenal anti tasawuf Wihdatul Wujud di Aceh. Beliau juga penyebar tarekat Syathariyah di Aceh.

Syeikh Abdurrauf Singkel Al Jawi adalah murid Syeikh Ibrahim Al Kurani An Naqsyabandi Asy Syafi'i selama di Madinah sebagaimana dikatakan oleh Ensiklopedi Islam yang terbit di Sharjah, UAE dan penulis Kurdi Dr. Muhammad Ali Ash Shuwairki dalam "A'lamul Kurud Fil Hijaz" atau "Tokoh-Tokoh Kurdi di Hijaz".


Kemudian, Maulana Daud bin Abdullah bin Idris Al Fatani Al Jawi Asy Syafi'i, ulama terkenal di Negeri Arab (Al Haramain) yang lahir di Kampung Parit Marhum, Pattani yang karangan-karangannya banyak dicetak di Mesir pun menggunakan nama Al Jawi. Digelari sebagai "Ulama dan Pengarang Terulung Asia Tenggara" oleh sejarawan Melayu Malaysia (alm.) Wan Muhammad Shagir Abdullah.


Syeikh Ahmad bin Ismail Al Jawi Al Fattani Asy Syafi'i.
Syeikh Muhammad Nur Khalidi bin Ismail An Naqsyabandi Al Minkabawi Al Jawi Al Makki Asy Syafi'i pengarang "Qasidah Nuzum Fi Silsilati At Thariqah An Naqsyabandiyah Al Khalidiyah."


Syeikh Al Arif Billah Abdush Shomad Al Falimbani (Palembang) Al Jawi pengarang kitab tasawuf terkenal "Sairus Salikin".


Syeikh Nawawi Umar Al Bantani Al Jawi, ulama terkenal produktif dengan karangan-karangannya berbahasa Arab, pengarang "At Tafsir Al Munir" dan ulama Jawi kedua yang menulis tafsir setelah Syeikh Abdurrauf Singkel Al Jawi.


Syeikh Abdul Qadir Mandili (Mandailing) Al Jawi bin Nasir.

Syeikh Abdul Adhim Mandurah (Madura) Al Jawi Asy Syafi'i.

Syeikh Khatib Sambas (Sambas, Kalimantan Barat) dijuluki sebagai "Syaikhul Jawah" di Haramain.


Syeikh Abdul Ghani Bima Al Jawi. Dll.

Jika kita membaca nama-nama ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Makkah, Madinah dan Kairo sebelum paruh pertama abad XX kita akan mendapati nama belakang Al Jawi. Nama ini adalah identitas bahwa mereka berasal dari Bilad Jawah atau keturunan orang Bilad Jawah. Ini adalah bukti bahwa mereka semua berafiliasi kepada Bilad Jawah (Negeri Jawah) atau Nusantara secara keseluruhan.

*****

Sebenarnya bahasa Jawi itu tersusun dari tiga unsur yang saling menguatkan, yaitu bahasa Melayu dan kosakata Arab sebagai tutur, huruf Arab sebagai penulisan (script) dan Kepulauan Nusantara (Jawah) sebagai domain atau cakupan. Bahasa Jawi adalah hasil pertemuan dan perkawinan unik antara peradaban lokal (Nusantara), agama Islam dan peradaban Arab.


Barangkali warisan (turats) intelektual dan keagamaan karya para ulama Jawah yang berbahasa Jawi (Melayu yang bertuliskan Arab) boleh dikatakan nomor empat terbesar setelah Arab, Persia dan India (Urdu). Mengingat bahasa Jawi adalah bahasa penulisan di Bilad Jawah (Nusantara) masa itu.

Di Mesir ada satu toko buku dan percetakan yang menjadikan kitab-kitab Jawi oplah terbesar setelah kitab-kitab berbahasa Arab pada masa lalu.

Nama toko dan percetakan kitab itu adalah "Mustafa Al Baby Al Halaby Wa Awladuhu" yang berada di belakang Masjid Agung Al Azhar, tepatnya di antara pasar sayur "Suq At Tablithiyah" yang terkenal di kawasan itu.


Jika anda ke Kairo dan bertanya tentang kitab-kitab berbahasa Jawi (Melayu yang menggunakan huruf Melayu) maka orang Mesir akan menunjukkan anda ke tempat itu. Di sana kitab-kitab karya para ulama Bilad Jawah dicetak.


Tentang aktifitas percetakan dan toko buku Mustafa Al Baby Al Halaby ini, Samir Mahmud, generasi keempat dari keluarga pemiliknya yang sekarang menjadi direktur keuangannya, yang pernah diwawancarai surat kabar "Al Masry Al Youm" bercerita:

"Pada tahun 1940-an kegiatan percetakan dan penerbitan di perusahaan itu amat ramai hinggai menjadi penerbitan terbesar di Timur Tengah.
Buku-buku yang dicetak setiap tahun mencapai delapan juta setengah biji. Perusahaan itu adalah yang pertama mencetak mushaf-mushaf di masjid-masjid dengan rasam (tulisan) Utsmani yang terkenal dengan nama Mushaf Mustafa Al Halaby.
Sebagaimana penerbit ini dikenal sebagai distributor mushaf dan kitab-kitab turats ke berbagai negeri Islam di seluruh penjuru dunia, seperti Indonesia, Semenanjung Malaya, Singapura, Zanzibar, Ghana, Guinea dan Pantai Gading.

Ia menyebutkan bahwa penerbitannya mempublikasikan 440 judul kitab antara tahun 1900-1949.

Pasar utama bagi toko buku dan percetakan Mustafa Al Baby Al Halaby Wa Awladuhu tidak hanya di Mesir, tapi di seluruh negeri-negeri Arab dan Islam.

Samir mengatakan "Kami telah mengekspor cetakan-cetakan eksklusif dari mushaf-mushaf, buku-buku tafsir, kitab-kitab shahih hadits dan fiqih dalam jumlah besar kepada setiap negara afrika. Dan Indonesia adalah negara yang paling banyak menerima buku-bukunya. Kami tidak mencetaknya dalam bahasa Arab, tapi dengan bahasa Jawi (bahasa Melayu yang berhuruf Arab) bagi penduduk negeri itu." (Surat kabar "Al Masri Al Youm", 3/9/2009).


Begitulah warisan karya para ulama Bilad Jawah teramat banyak, tidak hanya di Negeri-Negeri Jawah (Indonesia dan Malaysia), namun juga tersimpan di perpustakaan-perpustakaan negara-negara Arab.

Bahasa Jawi (Melayu berhuruf Arab) telah mampu melakukan perannya menghubungkan Dunia Jawah (Nusantara) dan Dunia Arab pada masa lalu sebagaimana bahasa Persia, Urdu dan Pashtun yang masih menggunakan huruf Arab.


Itulah Bilad Jawah yang membentang dari Selatan Thailand hingga Timur Indonesia dengan para ulamanya cemerlang dan diakui dunia pada masa lalu. (farhankournia).

Wallahu a'lam bish shawab.

Tuesday, March 30, 2010

Syeikh Djanan Thaib; Syeikh Pelajar-Pelajar Nusantara di Al Azhar & Pendiri Sekolah Indonesia (Melayu) Pertama di Luar Negeri


ZAKI MUJAHID dalam "Al A'lam Syarqiyyah Fil Mi'ah Ar Rabi'ah Asyrah Al Hijriyah" atau "Tokoh-Tokoh Timur Pada Ratus Keempatbelas Hijriyah" yang terbit di Beirut, Lebanon pada tahun 1948 menyebutkan:


"DJANAN THAIB: Dilahirkan di kota Padang, Indonesia (yang dikenal dengan Kepulauan Jawah). Tumbuh dan belajar di sana. Lalu pergi ke Mesir dan belajar di Al Azhar. Memperoleh berbagai ilmu dari ulama-ulama zamannya. Dan memperoleh ijazah "Al 'Alimiyah" (licence, sarjana muda). Ia adalah orang Indonesia pertama yang memperoleh ijazah ini dari Al Azhar.Djanan Thaib salahseorang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dan termasuk pemimpinnya. Ia adalah orang pertama yang membentuk Organisasi Kemerdekaan Indonesia di Mesir.Wafat pada tahun 1365 H. (1946 M.) di Mekkah Al Mukarramah, dalam usia kira-kira enampuluh tahun." (Sumber asal dari surat kabar Al Masry, 1946)


.………………………………


Hanya Syeikh Djanan Moehammad Thaib -lah satu-satunya tokoh Nusantara (Melayu) yang disebutkan Zaki Mujahid dalam bukunya itu.


………………………………………………


DJANAN MOEHAMMAD THAIB dilahirkan di kampung Sarik, Sumatera Barat pada tahun 1891 M. (1297 H.).Mengenyam pendidikan pertama di kampungnya, di Sumatera Barat. Setelah menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama, pada tahun 1911 saudaranya yang bernama Yahya -- yang terkenal kaya -- mengirimnya ke Mekkah untuk belajar di Masjidil Haram sebagaimana halnya ulama-ulama Nusantara masa itu.


Djanan Thaib belajar di Masjidil Haram beberapa lama. Tahun 1919, ia pergi ke Kairo untuk melanjutkan pelajarannya.


Pada tahun 1920-an sewaktu belajar di Al Azhar, Djanan Thaib memimpin majalah bulanan "Seruan Al Azhar" yang berisikan seruan revolusi terhadap penjajah di Kepulauan Nusantara dan Semenanjung Malaya. Di samping berisikan agama dan budaya. Djanan Thaib adalah orang Indonesia (dan Nusantara) pertama yang mendapatkan ijazah 'Alimiyah dari Al Azhar pada tahun 1926 (1344 H.).


Kemudian pada bulan Sya'ban tahun yang sama ia pergi ke Mekkah untuk tinggal di sana.Setelah menetap permanen di Mekkah ia mengajukan permohonan kepada Yang Mulia Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud agar menyetujui pendirian satu sekolah Islam Indonesia di Mekkah Al Mukarramah pada zaman Dinasti Saudi masa itu.


Raja Abdul Aziz menyambut baik permintaan ini karena beliau termasuk orang yang cinta ilmu dan para penuntutnya. Maka beliau memberi izin kepada Djanan Thaib untuk mendirikan sekolah Indonesia pertama, pada tahun 1346 H.


Sebenarnya tujuan dari pendirian sekolah itu karena Syeikh Djanan Thaib terketuk hatinya melihat banyaknya putera-putera Nusantara (Indonesia dan Malaya) yang datang ke Mekkah Al Mukarramah untuk menuntut ilmu.


Lalu sekolah itu dinamakan dengan "Al Madrasah Al Indunisiyah" atau "Sekolah Indonesia".


Doktor Zuhair Kutbi, budayawan Saudi, mengatakan bahwa Sekolah Indonesia yang didirikan oleh Syeikh Djanan Thaib di Mekkah pada tahun 1346 H. merupakan sekolah asing (non Saudi) pertama yang didirikan di Kerajaan Arab Saudi sejak berdirinya kerajaan itu.


Syeikh Djanan ingin menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam dengan prinsip-prinsipnya yang moderat melalui sekolah yang beliau dirikan di Mekkah itu. Tatkala para pelajar telah lulus dari Sekolah Indonesia dan sebagian pulang ke negeri masing-masing di Indonesia atau Malaysia, mereka harus melaksanakan amanat yang ada di pundak mereka yang berasal dari Syeikh Djanan Thaib pendiri sekolah ini yang diucapkan pada akhir kelulusan ketika penyerahan ijazah.

Mereka harus mengerahkan daya upaya mereka bagi menyebarkan cahaya Islam di Nusantara dan mampu melawan tujuan-tujuan missionaris terhadap agama Islam yang lurus.


Sekolah Indonesia yang didirikan Syeikh Djanan Thaib terletak di Al Gararah, di gedung (burj) Minangkabau, rumah Syeikh Muhammad Nur Salim Al Khalidi. Dalam pembukaan sekolah itu hadir tokoh-tokoh terkenal, ulama, sastrawan Mekkah dan para pejabat.


Terakhir sekolah itu pindah ke samping rumah Syeikh Mustafa Indragiri, depan rumah Syeikh Majid Kurdi pemilik percetakan Al Majidiyah di Al Gararah, Mekkah Al Mukarramah.


Selanjutnya Raja Abdul Aziz mengeluarkan Dekrit Kerajaan pada tanggal 18 Muharram 1347 H. yang mengangkat Syeikh Djanan Thaib bersama dengan sembilan ulama di Masjidil Haram sebagai anggota pengawas dalam "Biro Pengawas Pelajaran-Pelajaran dan Pengajaran di Masjidil Haram" atau "Hai'ah Muraqabah Ad Durus Wat Tadris Fil Haram Asy Syarif" yang dipimpin oleh Syeikh Abdullah bin Hasan Aal Syeikh. Melalui dekrit itu pula beliau diangkat sebagai pengajar resmi di Masjidil Haram dan dekrit ini dimuat dalam surat kabar "Ummul Qura" di Mekkah edisi 185, hari Jum'at 18 Muharram 1347 H. Di samping itu Pengadilan Tinggi Agama Mekkah Al Mukarramah mengangkat beliau sebagai penghulu (ma'dzun syar'i) bagi orang-orang Nusantara (Melayu) masa itu.


Syeikh Djanan Thaib mengurus sekolah itu hingga beliau meninggal dunia. Kemudian diteruskan oleh Syeikh Abdul Jalil Al Maqdisy hingga ditutup pada tahun 1390 H.


Sekolah Indonesia itu telah mengemban peranan pendidikan di Mekkah lebih dari 40 tahun. Sekolah itu akhirnya ditutup karena semakin banyaknya bertebaran sekolah-sekolah milik pemerintah (negeri).


Masa itu Sekolah Indonesia di Mekkah ini memperoleh banyak bantuan dari Rabithah Alam Al Islamy yang berpusat di Mekkah Al Mukarramah.


Sekolah Indonesia di Mekkah telah meluluskan tidak sedikit dari pelajar-pelajar yang kemudian melanjutkan pendidikan mereka di Al Azhar. Selanjutnya mereka menjadi dai-dai dan penyeru-penyeru Islam di Nusantara. Beberapa lulusan Sekolah Indonesia ini kemudian memegang jabatan penting di Indonesia dan Malaysia.


Tidak hanya Rabithah Alam Islamy, ketika itu Direktorat Kementerian Pendidikan (Mudiriyat Al Ma'arif) Kerajaan Arab Saudi di Mekkah juga selalu mensuplai buku-buku pelajaran yang diperlukan. Pengajaran di sekolah ini berlangsung dengan menggunakan pengantar bahasa Indonesia (Melayu) bagi mengajar anak-anak Nusantara bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama sesuai dengan kurikulum dengan supervisi Direktorat Kementerian Pendidikan Kerajaan Arab Saudi masa itu.


Mengingat sambutan yang begitu besar dengan banyaknya murid-murid, maka sekolah diadakan dua kali; pagi dan petang. Kebanyakan guru-gurunya adalah anak-anak lulusan Al Azhar yang didatangkan oleh Direktorat Kementerian Pendidikan untuk mengajar di sana.


Kemasyhuran Sekolah Indonesia di Mekkah yang didirikan oleh Syeikh Djanan Thaib ini telah banyak disinggung dalam beberapa buku, antara lain:

1. Dalil Al Hajj, karya Shalih Muhammad Jamal.

2. Qalbu Jazirah Al Arabiyah, karya Fuad Hamzah.

3. Al Jazirah Al Arabiyah, karya Hafiz Wahbah.

4. Makkah Fil Qarnil 14 Al Hijri, karya Muhammad Umar Rafi'.

5. Syibhu Jazirah Al Arab Fi 'Ahdi Al Malik Abdul Aziz, karya Khairuddin Az Zarkily (pengarang ensiklopedi tokoh-tokoh "Al A'lam").

6. At Ta'lim Al Ahly Lil Banin Fi Makkah Al Mukarramah, karya Faisal Abdullah Maqadimy.


Di samping mengajar, Syeikh Djanan Thaib juga menulis buku-buku. Syeikh Anwar -- putera sulung Syeikh Djanan Thaib -- telah bercerita bahwa Syeikh Djanan Thaib telah mengarang tidak sedikit buku dalam ilmu-ilmu agama. Hal itu bersandarkan pada perkataan beberapa ulama terkenal yang pernah belajar di Sekolah Indonesia yang juga murid Syeikh Jenan, antara lain: Syeikh Hasbullah Makabu, Syeikh Abdullatif Fadan dan Syeikh Najmuddin Bila.


Syeikh Djanan Moehammad Thaib wafat pada pagi hari Senin, 10 Rabi'ul Awwal 1365 H. di An Naqa, Mekkah Al Mukarramah pada umur 68 tahun dan dimakamkan di Pekuburan Al Ma'la. Semoga Allah selalu merahmati beliau … Amin. (farhankournia)


-------------------------------------------------

***** Dari berbagai sumber.

Friday, March 12, 2010

Ali Ahmad Bakathir; Sastrawan Arab Kelahiran Surabaya


Orang-Orang Hadrami


KITA mengenalnya sebagai negeri Al Ahgaf, negeri yang terkenal dengan kisah Nabi Hud as. Namun itu adalah zaman dulu. Selanjutnya terkenal dengan Hadramaut, negeri yang menerima dan menyambut Islam dengan ramah yang kemudian mempengaruhi sejarahnya dan negeri itu pun turut berperan dalam sejarah Islam.

Orang Hadrami adalah orang yang sadar dan suka bertualang serta memiliki instink berdagang yang kuat. Ia tidak suka tenggelam dalam ketenangan dan apa adanya. Namun mereka suka mengarungi bumi dengan kesadarannya untuk berpindah di bumi milik Allah yang luas ini melalui cara berdagangnya yang piawai.

Jika anda ingin mengenal orang Hadrami, anda tidak cukup mengunjungi Hadramaut dengan kota-kotanya yang bersejarah yang ada di Teluk Aden dan Laut Oman di selatan semenanjung Arabia--di utara Yaman--yang memiliki jejak-jejak jelas dalam lembaran-lembaran sejarah. Namun jika anda ingin mengetahui secara utuh hendaklah anda berkunjung ke kota-kota Semenanjung Arabia yang terkenal, anda akan mendapati seorangi pedagang Hadrami atau para pedagang Hadrami yang memiliki kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan penduduk aslinya. Selanjutnya kunjungilah Afrika, khususnya pantai timurnya. Disana orang-orang Hadrami memiliki jejak yang jelas dan kuat. Begitu pula berkunjunglah ke kepulauan Indonesia (Nusantara) karena disana orang-orang Hadrami memiliki peran yang menakjubkan dan pernah memiliki kesultanan.

Pengembaraan orang-orang Hadrami ke berbagai penjuru dunia bukan hanya sebatas untuk berdagang. Disamping membawa barang-barang dagangan mereka juga membawa pemikiran dan akidah atau kepercayaan mereka. Mereka tidak menyebarkan pemikiran dan kepercayaan itu dengan tipu daya atau bujukan sebagaimana dilakukan oleh para missionaris Kristen pada zaman sekarang. Namun mereka menyebarkannya dengan teladan yang baik dan perilaku yang lurus, lemah lembut dan sopan santun.

Orang-orang Hadrami selalu menarik hati penduduk asli yang berinteraksi dengan mereka. Penduduk asli menerima perdagangan orang-orang Hadrami dan membeli dari mereka barang-barang dagangan, pakaian serta mengambil dari mereka sifat-sifat kebaikan yang selanjutnya berpindah kepada mereka dengan pergaulan yang baik dan menjaga amanat. Mereka menyambut baik orang-orang Hadrami yang membawa kepada mereka akhlak yang baik itu serta belajar dari mereka akidah atau kepercayaan yang membuat mereka menjadi teladan-teladan yang baik. Dengan teladan yang baik ini maka tersebarlah Islam diantara jutaan manusia. Para penduduk asli senantiasa merasa senang dengan kehadiran mereka yang telah menunjukkan kepada mereka akidah Islam untuk tinggal bersama mereka. Maka sejumlah besar orang-orang Hadrami tinggal bersama disana untuk berdagang dan membangun peradaban.

Orang-orang Hadrami dengan konsistensi keislamannya merupakan para penakluk yang tangguh yang membuka hati nurani dan perasaan. Dengan suri tauladan yang baik mereka telah menambahkan kepada ummat Islam berbagai bangsa untuk memeluk agama Allah, lebih banyak daripada penaklukan dengan pedang dan tentara-tentara penakluk.
Diantara para pedagang Hadrami yang menetap di kepulauan Indonesia adalah seorang lelaki yang bernama Ahmad Bakathir. Ia dan istrinya menetap di Surabaya, sebuah kota pelabuhan di Jawa Timur.

Disamping sibuk berdagang, Ahmad Bakathir juga melakukan aktifitas dakwah Islam.

Pada tahun 1910, Ahmad dikaruniai seorang anak lelaki yang kemudian diberi nama Ali.
Tidaklah diragukan bahwa nama tersebut menunjukan kecintaan dan penghormatannya kepada Imam Ali dan keturunannya yang memiliki kedudukan tinggi dan terhormat di negeri mereka dan kedudukan tinggi dalam hati mereka.

Pergi Ke Hadramaut


Tatkala Ali berusia delapan tahun, ayahnya mengirimnya kepada adik-adik ibunya keluarga Al Abi Basit di kota Sewun yang ada di Hadramaut untuk belajar. Tampaknya adik-adik ibu Ali merupakan keluarga ahli ilmu bahasa Arab dan agama islam.Ia tinggal bersama mereka dalam waktu lama dan belajar dari mereka serta guru-guru lain berbagai ilmu.

Belum genap Ali berumur tigabelas tahun ketika ia tertarik belajar syair-syair Arab, menghafalnya dan membuat bait-baitnya (nadhom). Ia hafal banyak sekali syair-syair kuno. Ia begitu tertarik dengan syair Al Mutanabbi yang digelari penyair Arab terbesar sepanjang sejarah. Al Mutanabbi telah mempengaruhi jiwa kepenyairannya sebagiamana ribuan penyair sebelumnya telah menorehkan pengaruhnya.

Tatkala istrinya wafat, ia bertekad meninggalkan Hadramaut ke Aden. Tidak lama ia menetap disana. Ia kemudian menaiki kapal berkelana pantai timur Afrika; bolak-balik antara Somalia, Ethiopia dan kota-kota sekitarnya namun ia tiada mendapatkan apa yang dicarinya. Kemudian ia pergi ke Hijaz dan tinggal disana selama lebih dari setahun antara Makkah, Madinah dan Taif. Zaman itu ketiga kota diatas tengah menyaksikan gerakan pertumbuhan sastra yang mekar yang bertiup dari Mesir dan Syam. Pertumbuhan itu berpengaruh pada para sastrawan muda disana.

Bakathir memiliki hubungan yang kuat dengan para sastrawan Hijaz. Jiwanya tiada tenang kecuali berkeumpul dalam majelis-majelis keilmuan dan sastra. Ketika itu para sastrawan Hijaz senantiasa menggelar majelis-majelis sastra di Taif. Mereka membacakan syair-syair dan mempelajari sastra serta berita-berita sastrawan arab. Disanalah Ali Ahmad Bakathir berkenalan dengan para penyair kontemporer khususnya Ahmad Syauqi Bek "Amir Asy Syuara'" dan Hafiz Ibrahim "Syair An Nil". Disini pula ia mengenal pertama kali drama syair melalui karya-karya Ahmad Syauqi. Ia amat tertarik dengan drama karena itu ia terdorong untuk menulis drama syair. Karya pertama drama pertama Ali Ahmad bakathir adalah "Hummam Fi Biladil Ahgaf". Ia berharap agar dapat menjadi seorang reformer sosial di Hadramaut. Konon menurut sebagian pengamat karya-karyanya, pada masa ini ia terpengaruh pemikiran Reformis Islam Sayyid Jamaluddin Al Afghany.
Menuju Kairo.

Membaca berita-berita tentang kegiatan sastra di Mesir yang aktif, maka ia pergi ke Kairo pada tahun 1934 dengan niat belajar Bahasa Arab dan Islam di Al Azhar. Namun setiba di Kairo ia merubah niatnya dan masuk Fakultas Sastra jurusan Bahasa Inggris di Universitas Fuad I (sekarang Universitas Kairo). Menurut sejumlah ahli sejarah berubahnya niat Ali ini karena dorongan beberapa sastrawan yang ia temui setiba di Kairo, khususnya ulama dan sastrawan Syria Muhibuddin Al Khatib. Hal tersebut karena arah islami dalam sastra dan kehidupan masa itu memerlukan seorang sastrawan yang menguasai agama Islam, kebudayaan dan sastra Arab yang mempelajari bahasa asing bagi mengcounter para penyeru westernisasi dalam kehidupan dan sastra, khususnya di Mesir. Ternyata pilihan Bakathir amatlah tepat, terbukti dari karya-karya sastranya yang ia tulis di kemudian hari yang mempertahankan arah islami asli dalam syair, drama dan novel.

Ali Ahmad Bakathir lulus dari Fakultas Sastra jurusan Bahasa Inggris pada tahun 1939. Kemudian melanjutkan belajar di Kuliyatul Mu'allimin (sekolah guru) dan memperoleh diploma pendidikan tahun 1940. Dengan ijazah ini ia bekerja sebagai seorang guru Bahasa Inggris di sekolah menengah di Mesir. Ia terus mengajar hingga tahun 1955 ketika dipindah ke Jawatan Seni yang baru didirikan. Dan Jawatan Seni ini terus berkembang hingga berubah menjadi sebuah kementerian yang bernama Kementerian Bimbingan Nasional (Wizarat Al Irsyad Al Qaumi). Ali Ahmad Bakathir terus menjadi pegawai kementerian itu hingga wafat pada tahun 1969.

Ketika berada di Kairo Ali Ahmad Bakathir dekat dengan ulama dan sastrawan Syria Muhibuddin Al Khatib pemilik koran Al Fath dan percetakan/toko buku As Salafiyah. Di koran Al Fath inilah ia memuat karya-karya syairnya. Dan di penerbit As Salafiyah, ia menerbitkan karya dramanya yang ia karang waktu berada di Taif "Hummam Fi Biladil Ahgaf" pada tahun 1353 H. Ia menjalin persahabatan dengan para penyair Mesir seperti Abbas Mahmud Al Aqqad, Kamil Ash Shairafy dan Ibrahim Abdul Qadir Al Maziny. Para sastrawan Mesir mengagumi kepenyariran Bakathir serta kemampuan satranya. Selanjutnya ia menjalin hubungan persahabatan yang luas dengan para sastrawan dan ulama Arab, antara lain Is'af An Nasyasyiby (Palestina), Badr Syakir As Sayyab (Irak), 'Alal Al Fasy (Maroko), Al Fudhail Al Waratlany (Aljazair), dll.

Bakathir banyak mempublikasikan karya-karya sastranya di berbagai majalah Arab, antara lain majalah "At Tahdzib" yang diterbitkan sendiri oleh Bakathir bekerjasama dengan pada sastrawan Sewun di Hadramaut. Nama majalah ini menyiratkan arah reformasi yang ditempuh Bakathir semenjak masa dini dari kehidupan sastranya. Sebagaimana karya-karya Bakathir diterbitkan oleh majalah dan koran: Al Wady, Al Ma'rifah, Al Fath, Ar Risalah, Ats Tsaqafah, Al Usbu', Appolo, Ar Risalah Al Jadidah. Dimana kesemua majalah dan koran diatas merupakan acuan terpenting dalam study syair-syair beliau.

Bakathir aktif turut serta dalam kegiatan kebudayaan di Mesir. Ia adalah anggota Komisi Syair dan Cerita pada Dewan Tinggi Pemerhati Seni, Sastra dan Ilmu Sosial. Ketika dikeluarkan undang-undang spesialisasi sastrawan, Bakathir adalah orang pertama yang memperoleh beasiswa spesialis sastrawan selama dua tahun. Dan masa dua tahun ini merupakan masa kecemerlangan sastra Arab dan sejarah Islam. Dalam dua tahun itu Bakathir telah menulis perjuangan besarnya dalam sejarah Khalifah Umar bin Khattab. Karyanya itu sebanyak sembilanbelas jilid yang menggambarkan sisi-sisi kecemerlangan Khalifah Umar yang memiliki pengaruh mendalam dalam sejarah Islam.

Bakathir sering mengunjungi Perancis dalam misi study umum dimana ia membaca karya-karya sastra Perancis pada tahun 1954 dan 1956. Lalu Rumania dan Uni Soviet sebagai anggota delegasi sastrawan Mesir yang mendapat undangan persatuan penulis Rumania dan persatuan penulis Soviet. Pada tahun 1958 ia mewakili Republik Persatuan Arab dalam konferensi penulis Asia Afrika pertama di Tashkent.

Beberapa Karya Bakathir
Doktor Najib Al Kailany, salahseorang perintis sastra Islam di Mesir, pernah menceritakan tentang pembicaraannya dengan Bakathir. Semua Bakathir ingin menjadi seorang ahli Hadits. Karena itu ia mendalami ilmu hadits, riwayat dan derajat Hadits. Ia telah melangkah jauh dalam ilmu Hadits, tapi ternyata kemudian takdir membawanya menuju sastra.

Bakathir telah mempersembahkan tidak sedikit karya sastra yang terkait erat dengan nilai-nilai Islam, sejarah Islam dan tokoh-tokoh Islam yang memiliki peran dalam persistiwa-peristiwa besar.

Ia termasuk tokoh yang turut serta dalam mendirikan "Lajnatun Nasyr Lil Jami'iyin" atau Komite Penerbitan Untuk Universitas di Mesir bersama dengan tokoh-tokoh sastrawan terkemuka Mesir Abdul Hamid Jaudah As Sahhar, Naguib Mahfouz, Sayyid Qutb, Muhammad Abdul Halim Abdullah, dll. yang berperan mencetak dan menerbitkan buku-buku sastra serta buku-buku sekolah dan memiliki penerbit "Maktabah Misr" di kawasan Al Fagallah yang terkenal.

Bakathir juga telah menerjemahkan karya-karya Shakespeare dalam usianya yang relatif muda. Ia menerjemahkan "Romeo dan Juliet" pada tahun 1937 dalam bentuk syair dan termasuk tokoh pertama yang memasukkan aliran syair moderen dalam satra Arab kontemporer.
Karangan lain Bakathir yang terkenal adalah "Wa Islamahu" yang dicetak berulang-ulang dan menjadi teks wajib bagi sekolah-sekolah menengah di Mesir selama bertahun-tahun dan terkenal di mana-mana. Kisah ini menggambarkan era yang unik dari sejarah Islam dan kegigihan Islam dalm menghadapi agresi Tatar. Cairnya sektarian, nasionalisme, ras dan memunculkan tokoh Islam yang mampu menaklukkan tantangan dan pengkhianatan.
Setelah itu ia menulis kisah "Sirah Syuja'" yang hampir mirip dengan buku sebelumnya. Disamping menulis karya-karya teater islami kecil dalam satu atau dua babak yang khusus ia tulis untuk majalah-majalah mingguan dan bulanan.


Kemudian ia menulis "Harut dan Marut" yang--ceritanya berasal dari Al Qur'an—membahas kekuatan manusia, martabatnya, keuletannya dangan kemauan yang kuat dalam menghadapi kecenderungan hawa nafsu dan sikap tamak. Sebagaimana ia menulis "Isis dan Osiris" yang merupakan mitos Fir'aun dengan gaya moderen dan memunculkan kesetiaan rumah tangga (keluarga), ketinggian cinta manusia, kesabaran manusia dalam menghadapi takdir dan berbagai peristiwa dan kecemerlangan pemikiran dan spirit dengan kebebasan hakiki. Selanjutnya "Jalfadan Hanim" (berbahasa 'amiyah Mesir), "Hablul Ghasil" karya sandiwara komedi yang indah dan kaya dengan satire.(farhankournia)



Saturday, February 27, 2010

Mereka Yang Keluar Dari Ikhwanul Muslimun … Kapan, Bagaimana dan Mengapa?*


Oleh Isham Tolaemah**


TUJUAN riset ini bukanlah untuk mengorek masa lalu untuk mengeluarkan ketergelinciran-ketergelinciran masa itu dan kesalahan-kesalahan dengan tujuan mendapatkan keuntungan atau melukai pihak manapun, atau bagi keuntungan pihak lain. Tujuannya hanyalah memandang masa lalu dengan pandangan tajam, bagi memetik pelajaran-pelajaran dan nasehat-nasehat dengan mengambil ilham darinya yang akan membantu memahami masa sekarang dan menyongsong masa depan. Dan melipat lembaran yang ada di ruang tak diketahui ke hadapan Al Khaliq Yang Maha Agung dan Maha Tinggi; termasuk dari kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Agar kita tidak menghancurkan masa depan demi keuntungan masa lalu. Agar tidak terulang jatuh pada kesalahan dalam berinteraksi dengan manusia dengan berpura-pura melupakan kedudukan-kedudukan mereka dan jasa-jasa mereka. Dan mengurutkan mereka sebaik-baiknya dalam klasifikasi yang akan memperkuat barisan nasional, bukan melemahkan barisan nasional. Membangkitkan pemikiran Islam, menyuburkannya dengan berbagai sumber yang tidak harus keluar dari satu penyangga dakwah dan satu pemikiran.


Saya telah memilih mereka yang keluar dari IM berdasarkan satu situasi atau satu perselisihan pemikiran; baik dalam pemikiran IM, atau dalam pemikiran pengendalian organisasi. Saya menjauhkan diri dari perpecahan-perpecahan yang ada berdasarkan sebab-sebab politik atau pribadi atau sejenisnya, karena dua sebab penting: PERTAMA, sulit dalam hal ini bagi saya menghasilkan satu penelitian yang berakhir dengan satu keputusan tepat, atau dengan menyalahkan satu pandangan dan membenarkan yang lain. Karena ia biasanya hanya terjadi pada masalah-masalah manajerial organisasi rahasia semata. KEDUA, sulit bagi saya mendengarkan dari kedua belah pihak, karena di dalamnya ada masalah-masalah organisasi yang kadang disembunyikan oleh satu pihak apa yang ada padanya. Karena hal itu digolongkan sensitif untuk dapat dikeluarkan dan disebarkan bagi orang-orang yang memberikan kesaksian-kesaksian, atau sebagai tuduhan bagi saya memperoleh informasi dari pihak-pihak keamanan, hal yang akan dapat menyangsikan transparansi saya dan hasil penelitian.


Motiv-Motiv Keluar Dari IM.


Motiv-motiv dan sebab-sebab keluar dari organisasi IM bukanlah satu, namun bermacam-macam. Mayoritasnya berdasarkan situasi-situasi pemikiran. Baik terkait dengan satu situasi perasaan ataupun situasi yang disadari akibat mihnah (cobaan, penangkapan-penangkapan) yang mendorong orang-orang yang bersangkutan membuat keputusan-keputusan mereka, atau orang yang keluar dari IM berharap berakhirnya permasalahan-permasalahan, lalu berfikir pada satu sarana lain yang akan ia gunakan dengan tanpa berbenturan dengan organisasi IM atau rezim yang ada. Dan saya dapat membatasinya sebagai berikut:


1. Sebab Pemikiran:


Dari sebab-sebab yang bertolak dari pemikiran, dimana perselisihan dengan IM dalam arah, ataupun sepakat dengan IM dalam tujuan; yaitu mendirikan satu negara Islam dan membawa masyarakat kepada Islam. Namun berbeda dalam media (wasilah) dan alat untuk merubah masyarakat atau kesesuaian kondisi masyarakat dengannya. Di antara mereka adalah Jamaah Syabab Muhammad. Mereka telah memisahkan diri dari IM pada zaman Hasan Al Banna. Penyebabnya karena mereka menuduh IM meninggalkan kewajiban berjihad dan mengubah kemungkaran dengan tangan (kekuatan). Di antara mereka (yang keluar karena pemikiran) juga Ali Sami An Nasyar pengarang buku "Nasy'atu Al Fikr Al Falsafi Fil Islam" (Pertumbuhan Pemikiran Filsafat Dalam Islam), dll. Sebagian mereka telah bergabung dengan partai (politik) "Misr Al Fatah" dan turut serta bersama partai itu dalam peristiwa penghancuran bar-bar pada tahun 1938. Dimana Ahmad Husein telah menarik pemikirannya dari partai itu setelah hampir empatpuluh tahun dalam satu artikelnya di majalah Al Azhar tahun 1978.


2. Puas Terhadap Sarana-Sarana Lain Untuk Beraktifitas.


Di antara mereka yang puas dengan satu media lain untuk berkhidmat pada Islam, yaitu cara kooperasi (koalisi) dengan penguasa dan tidak berbenturan (clash) dengan penguasa. Dan menggunakan peluang yang diberikan pemerintah kepadanya dimana memberi akses dalam satu kementerian tertentu atau satu jabatan untuk melakukan tugas-tugasnya bagi berkhidmat pada Islam. Di antara mereka yang terkenal adalah dua tokoh yang memiliki bobot dalam organisasi IM secara khusus, dan dalam pemikiran Islam secara umum, yaitu Syeikh Ahmad Hasan Al Baqury dan Dr. Abdul Aziz Kamil. Keduanya memegang jabatan Kementerian Wakaf pada era Gamal Abdul Nasser.


Adapun Syeikh Ahmad Hasan Al Baqury, beliau telah puas melalui jabatan beliau sebagai Menteri Wakaf mampu berkhidmat pada dakwah dan Islam lebih banyak daripada keberadaan beliau di organisasi IM.


Gamal Abdul Nasser dan tokoh-tokoh Revolusi Juli 1952 telah meminta IM untuk mencalonkan empat orang bagi menduduki kementerian-kementerian pada Pemerintahan Revolusi. Lalu IM mencalonkan orang-orang yang tak termasuk Al Baqury. Kemudian Pemerintah Revolusi mencalonkan Al Baqury dalam Kementerian wakaf, dan Al Baqury menerima. (Tapi) Maktab Irsyad menolak usulan itu. Dengan itu Al Baqury telah menyalahi keinginan IM, selanjutnya Al Baqury mengajukan pengunduran dirinya dari organisasi IM.


Salahseorang wartawan telah bertanya kepada Syeikh Al Baqury Menteri Wakaf tentang sebab-sebab pengunduran dirinya dari IM. Beliau menjawab "Itu adalah sebab-sebab yang lebih saya sukai pada jiwa saya. Bukanlah di antara sebab-sebab itu ada satu sebab yang menyentuh penghormatan saya kepada saudara-saudara saya di IM dan kebanggaan saya pada mereka. Setiap orang dari mereka; baik kecil maupun besar (memiliki) tempat terdalam di hati saya."


Benar, Al Baqury memiliki prestasi-prestasi hebat di Kementerian Wakaf. Beliau memiliki satu peran terhadap para pemuda IM yang dihalangi oleh pihak keamanan dalam pengangkatan mereka. Kesepuluh orang pemuda itu adalah dari lulusan Al Azhar yang diangkat sebagai imam dan khatib, dan pihak keamanan menolak pengangkatan mereka karena berafiliasi kepada organisasi IM. Tiba-tiba Al Baqury mengejutkan semua orang dengan mengangkat mereka atas tanggung jawabnya secara pribadi. Di antara sepuluh orang itu adalah Yusuf Al Qardlawy dan Ahmad Al 'Assal. Dan Al Baqury juga telah membantu sejumlah anggota IM dan membebaskan sebagian mereka dari ketidakadilan, sebagaimana sejarawan IM Mahmud Abdul Halim bersaksi atas hal itu. Dimana ia berkata tentang beliau "Ini adalah kejutan yang menyakitkan yang berakhir dengan hilangnya dari dakwah salahseorang anaknya yang tua, kecintaan pribadi Mursyid Am—dari satu sisi—kepada Akh ini tidak hilang. Sebagaimana—dari sisi lain—Akh Kabir ini tidak hilang cinta dan penghargaannya kepada Mursyid Am. Lalu saya putuskan giliranku bahwa kecintaanya padaku tidak hilang … Saya telah sebutkan contoh-contoh tindakan yang mengisyaratkan bahwa Akh ini (Al Baqury) meskipun telah hilang kedudukannya dalam dakwah tapi ia berupaya dengan keras untuk menerapkan prinsip-prinsip yang ia pelajari dari dakwah dan contoh-contoh yang ia masukkan dalam posisi barunya."


Adapun Dr. Abdul Aziz Kamil yang digelari "Ibnud Da'wah Al Bikr" (Anak Sulung Dakwah, maksudnya dakwah IM) oleh Hasan Al Banna ketika itu adalah seorang penanggung jawab Divisi Keluarga. Ketika terjadi benturan antara Abdul Nasser dan IM tahun 1954 ia dipenjara di Penjara Perang. Ketika itu ia menulis daftar-daftar nama, karena tulisannya yang indah. Dan ia menguasai pengaturan urusan-urusan keseharian di penjara. Maka para pejabat Penjara Perang menggunakannya dalam mengatur urusan-urusan penjara itu, penulisan daftar nama-nama, dll. Hal yang membuatnya memiliki satu posisi di samping mereka yang kadangkala diperhitungkan. Ia telah meringankan banyak anggota IM yang mendapat siksaan, karena ia memiliki posisi di mata para pejabat penjara.


Namun ia merenungkan kondisi dakwah sedangkan ia berada dalam penjara. Panjang sekali berfikirnya hingga akhirnya ia menempuh satu jalan lain bagi aktifitas dakwah. Ia telah berterus terang kepada salahseorang muridnya tantang hal itu. Dan saya telah bertanya kepada muridnya itu tentang sebab keputusan Abdul Aziz Kamil meninggalkan aktifitas bersama IM. Ia mengatakan bahwa Abdul Aziz Kamil tiada mencintai—selain kecintaannya pada Allah dan RasulNya—seorang pun sebagaimana cintanya pada ibunya.


Petugas-petugas penjara telah mendatangkan ibunya kepadanya di tahanan serta mengancam dengan ibunya. Ini adalah penyebab keruntuhannya. Dan fikirannya (selalu) dalam pencarian satu cara lain untuk mengabdi pada Islam dengan tanpa berada dalam organisasi IM. Kemudian Abdul Aziz Kamil keluar dari penjara dan setelah itu menjabat di Kementerian Wakaf pada zaman Abdul Nasser.


3. Menghindarkan Dakwah Berbenturan Dengan Penguasa.


Diantara orang-orang yang meninggalkan IM berdasarkan pandangannya, ada sekelompok lain. Mereka berpandangan sebagaimana pandangan adanya satu benturan tajam yang tampak di cakrawala dan memperingatkan terjadinya satu benturan tajam berdarah antara Pemerintah Revolusi dan IM, tepatnya antara Gamal Abdul Nasser dan IM. Maka mereka berfikir untuk menjauhkan diri dari konflik tajam ini serta berupaya mencari satu lapangan untuk beraktifitas bagi berkhidmat kepada Islam dalam lapangan itu, jauh dari aktifitas organisasi dalam IM.


Di antara mereka adalah Ustadz Al Bahi Al Khouli, yaitu dari generasi Hasan Al Banna dan Al Qardlawy. Beliau melihat hubungan antara IM dan Abdul Nasser mencapai satu fase kemacetan (stagnasi) dan ketersumbatan yang parah. Ketika itu pandangannya—sebagaimana Syeikh Al Qardlawy telah menceritakan pada saya—bahwa organisasi harus mencukupkan pada apa yang telah dipersembahkan dari satu sejarah yang gemilang dan menarik diri dari kegiatan politik hingga tidak merusak sejarahnya dan apa yang telah dipersembahkannya. Benar, Al Bahi akhirnya memutuskan untuk meninggalkan IM. Hubungan Al Bahi Al Khouli sebelumnya dengan IM telah memiliki satu keistimewaan dalam meringankan ketegangan yang kuat—dalam beberapa hal—antara Abdul Nasser dengan IM, khususnya dengan sebagian individu mereka yang tidak ada perselisihan pribadi antara mereka dengan Abdul Nasser. Sebagaimana Al Bahi Al Khouli memiliki seorang anak lelaki yang bekerja sebagai seorang perwira di Penjara Perang—bernama Majid—yang ketika itu meringankan para tahanan IM.


4. Kelemahan dan Tidak Kuat Menanggung Siksaan Penjara.


Di antara mereka ada yang sebab meninggalkan IM secara organisasi (bukan secara dakwah) karena menerima siksaan di penjara, atau berpandangan bahwa keberadaannya di penjara bukanlah untuk kepentingan dakwah. Lalu bagaimana atas mereka jika mengirim surat permohonan (al isti'taf) kepada Gamal Abdul Nasser atau sepucuk surat dukungan untuknya dalam pemerintahan, yaitu apa yang disyaratkan oleh Pemerintah Revolusi masa itu bagi orang yang ingin keluar dari penjara. Di antara mereka adalah sejumlah kecil dari orang-orang alumni Al Azhar, yaitu yang meninggalkan satu kesan—hingga kini pada generasi tua IM—buruk terhadap alumni Al Azhar pada sebagian anggota IM. Ketika itu Pemerintah Revolusi telah menyatakan bahwa siapa yang mengirim surat dukungan kepada Abdul Nasser maka akan dibebaskan. Maka organisasi IM memutuskan barangsiapa yang mengirim sepucuk surat dukungan termasuk dipecat dari IM atau mengundurkan diri dari IM.


Di antara orang-orang yang mengirimkan surat kepada Abdul Nasser adalah Syeikh Shalah Abu Ismail. Abu Ismail tidak bergabung dengan IM pada zaman Hasan Al Banna, meskipun ia telah mendengar tentang beliau banyak sekali dan kagum terhadapnya. Tapi ia bergabung dengan IM ketika mendengar perkataan Abdul Qadir Audah yang sedang berpidato di pertemuan IM. Ia mendengar Abdul Qadir Audah berkata "Mesir adalah negara parlemen (daulah niyabiyah). Andai kita mampu masuk dalam dewan parlemen dengan banyak, maka kita telah sampai perubahan yang kita inginkan sesuai dengan rencana islami kita." Maka mantaplah hati Shalah Abu Ismail pada hari itu untuk bergabung dengan IM secara organisasi. Ketika itu adalah awal tahun 50-an, pemuda Shalah Abu Ismail aktif. Ia berperan di bagian mahasiswa organisasi IM, tepatnya di Fakultas Bahasa Arab Universitas Al Azhar. Ia memiliki kegiatan-kegiatan dalam perjuangan di Terusan Suez melawan Inggris. Ia melakukan beberapa kegiatan tekhnis. Ia juga anggota teater (sandiwara) IM. Bahkan ia adalah pemuda nomor satu grup itu, mengingat kefasihan bahasanya, wajahnya yang menarik, tinggi badannya yang atletis dan posturnya tinggi. Ia telah memerankan Hercules dalam salahsatu teater IM.


Kemudian Shalah Abu Ismail dan anggota-anggota IM ditangkap pada tahun 50-an. Dan dibuka pintu pembebasan untuk tahanan IM bagi yang mengirim surat dukungan untuk Presiden Gamal Abdul Nasser. Kemudian ia mengirim sepucuk surat dari dalam tahanan. Dalam pembukaannya ia menulis "Dari Tahanan Shalah Abu Ismail Kepada Bapak Presiden (As Sayyid Ar Rais) Gamal Abdul Nasser."


Bersamaan dengan keluarnya da'i Shalah Abu Ismail dari tahanan setelah mengirimkan surat, maka ia menerima pekerjaan di Al Azhar. Lalu muncul peran dakwahnya dan melakukan kegiatan politik parlemen serta memasuki parlemen. Beliau termasuk tokoh-tokoh islamis pertama yang melakukan kegiatan politik. Ketika IM keluar dari penjara-penjara, mereka mulai memasuki pemilihan umum. Para pemuda IM mulai bertanya-tanya "Bagaimana posisi Shalah Abu Ismail secara organisasi? Apakah ia dari IM atau tidak?" Maka Syeikh Abu Ismail menukas jalan dengan kemahirannya yang terkenal terhadap setiap orang yang tawar menawar dengannya dengan mengatakan "Andai IM mengeluarkanku dari pintu, maka aku masuk pada mereka dari jendela." Bahkan IM memanfaatkan usaha politik Shalah Abu Ismail ini. Hal yang menjadikan seorang pemuda IM berhasil lolos bersama beliau dalam daftar calon legislatif yang sama dengan beliau, yaitu Dr. Isham Iryan yang menjadi anggota parlemen termuda pada masanya.


5. Perselisihan Dalam Mengendalikan Organisasi.


Disana ada satu sebab yang berasal dari perselisihan dalam cara mengendalikan organisasi, tepatnya bagaimana mengendalikan konflik dengan Gamal Abdul Nasser dan Pemerintah Revolusi. Di antara mereka adalah orang-orang tua (masyayeikh): Abdul Muiz Abdul Sattar, Muhammad Al Ghazaly dan Sayyid Sabiq. Adapun yang pertama, telah meninggalkan organisasi setelah melihat cara mengendalikan organisasi yang tidak sesuai baginya, menyalahi Maktab Irsyad, melangkahi individu-individu dan melanggar keputusan-keputusan organisasi. Saya telah bertanya kepada Syeikh Abdul Muiz tentang pengunduran dirinya dari IM. Beliau menjawab "Saya tidak mengundurkan diri dari IM dan tidak memisahkan diri. (Tapi) saya meninggalkan mereka, karena buruknya Maktab Irsyad. Kami semua telah membaiat Hasan Al Hudaiby sebagai Mursyid. (Tapi) ia tiada berkumpul bersama kami selama memegang jabatan itu, kecuali sedikit sekali. Sebagaimana ia dan beberapa pejabat bertemu dengan Abdul Nasser dan mereka berunding dengannya dengan tanpa merujuk pada kami atau memberitahu apa yang telah terjadi atau (dengan bahasa lain) kami anggota Maktab Irsyad hanya sekumpulan ember (jardal). Artinya prinsip utama syura tidak diterapkan. Saya telah melihat satu kerusakan dalam pemikiran tentang syura dan satu kerusakan dalam pengendalian organisasi, maka saya meninggalkan mereka. Ketika itu saya mempunyai satu fikiran dalam benturan dengan Pemerintah Revolusi, yaitu organisasi harus menghindari benturan (clash) ini." Adapun yang dua yang lain yaitu Al Ghazaly dan Sabiq, mereka berdua telah menduduki (mengambil alih) Markas Besar IM dan keduanya memimpin satu revolusi terhadap Mursyid IM (Hasan Al Hudaiby) atas informasi-informasi campuraduk yang sampai kepada mereka tentang Hudaiby. Akibatnya setelah itu mereka berdua dipecat dari organisasi.


Setelah dipecatnya Al Ghazaly dari IM, beliau tidak berubah sikap terhadap organisasi dimana beliau tumbuh di dalamnya—perkataan yang sama juga dikatakan pada Sayyid Sabiq—atau berubah menjadi musuh dan benci kepadanya atau anggota-anggotanya. Meskipun apa yang ditulis Al Ghazaly dalam mengkritik Al Hudaiby Mursyid Am IM dalam bukunya "Min Ma'alimil Haqq Fi Kifahinal Islamil Hadits", khususnya cetakan pertama. Al Ghazaly berkata tentang sikapnya terhadap IM setelah pemecatannya, sedangkan mereka (IM) telah dimasukkan dalam tahanan-tahanan dan penjara-penjara, dan beliau telah menduduki satu posisi dan kedudukan di Kementerian Wakaf "Biro Informasi di Kementerian Wakaf telah mengadakan penelitian (al ihsa') terhadap orang-orang yang ingin masuk (bekerja) ke dalamnya, hasilnya tiga perempat dari mereka menyebut nama saya. Ketika saya disinggung tentang hal itu (maka) saya katakan 'Arti pegawai umum adalah pelayan publik, benar bukan sekedar klaim basa-basi … Dengan sendirinya IM—secara individu—adalah orang pertama yang memiliki kemampuan dengan aktifitas ini. Selagi saya senang bertemu dengan mereka dan saya dinginkan kegelisahan mereka dan saya lihat dari diri saya kesiapan penuh bagi membantunya!"


Ketika datang peristiwa penangkapan-penangkapan tahun 1965 yang mana operasi penangkapan-penangkapan itu lebih hebat daripada operasi-operasi sebelumnya, Syeikh Ghazaly berkata "Saya diminta ke stasiun radio. Ketika saya pergi saya mendapati sejumlah tokoh-tokoh tua IM. Ketika itu komentar-komentarnya terbatas 'Sesungguhnya Presiden memerintahkan menyebarkan keburukan para teroris. Dan memperingatkan rakyat agar tidak terkecoh mereka atau bekerjasama dengan mereka. Dan hendaklah anda melakukan kewajiban tanah air ini secepatnya!' Saya termangu di atas kursi karena sesak dada. Para pengawas acara melihat hal itu namun mereka pura-pura bodoh. Lalu mereka memintaku—sebagai orang yang telah dipecat dari IM—untuk memulai rekaman! Jawaban saya ketika itu tegas 'Saya siap untuk berbicara tentang Islam dan urgensi menghidupkan kembali apa yang telah mati dari hukum-hukumnya. Dan saya siap menunjukkan orang-orang yang salah; baik para penguasa maupun rakyat. Bagi memperbaiki apa yang telah terjadi pada mereka dari kesalahan. Adapun memaki IM sendiri bukanlah perangai saya, saya bersiap untuk bersiap terluka!' Dikatakan (pada beliau) "Mereka telah memecat anda dari kelompok (jama'ah) mereka, lalu mengapa anda tetap pada mereka?", maka akan saya katakan "Jika mereka telah membuatku lemah sewaktu mereka kuat, maka aku tidak akan membuat mereka lemah di saat aku bebas merdeka!" Itu tiada lain hanyalah saat-saat hingga ketika itu pembatasan ada di tanganku!"


Situasi-situasi yang sama (terjadi) pada Sayyid Sabiq. Beliau bersama Syeikh Al Ghazaly di Kementerian Wakaf. Ia tiada mengecilkan peran Abdul Muiz Abdul Sattar terhadap dua temannya, khususnya ketika keluar menuju Arab Saudi, lalu ke Qatar. Ketika itu beliau memiliki banyak situasi dalam membantu anggota IM yang diburu di luar Mesir.


6. Berkhidmat Umum Untuk Islam.


Disana ada sekelompok orang yang meninggalkan IM secara organisasi, namun tidak secara pemikiran. Mereka berpandangan bahwa mereka telah sampai pada fase yang harus menjadi tokoh-tokoh ummat. Dan mereka hanya menjadi milik ummat saja. Dan mereka tidak terkekang oleh satu kerangka organisasi. Mereka lebih banyak untuk ummat daripada untuk organisasi. Di antara mereka adalah: Dr. Yusuf Al Qardlawy. Beliau tetap menjadi seorang anggota organisasi IM semenjak awal tahun 40-an dari abad XX hingga mendekati akhir 80-an, tepatnya tahun 1988. Al Qardlawy telah meminta dari Jaringan Internasional (At Tanzim Al 'Alamy) IM pengecualian dari keanggotaan organisasi pada IM mengingat karena ia telah menjadi wakil ummat sebagai tokoh daripada mewakili organisasi IM. Manfaatnya dalam kedudukan ini lebih banyak dan lebih membuahkan bagi Islam tanpa diragukan. Dan IM telah memahami permintaannya serta segera memberikan jawaban, sebagaimana dikatakan oleh Al Qardlawy.


Ini adalah satu paparan global tentang sebab-sebab penting yang menyebabkan keluarnya sebagian anggota IM dari orang-orang yang berbeda pemikiran atau cara berinteraksi dengan organisasi. Dan dapat diperhatikan pada setiap orang yang keluar dari organisasi IM dalam kondisi-kondisi yang telah kita sebutkan bahwa mereka tidak menghapus masa lalunya dan tidak meninggalkan berbuat untuk Islam. Bahkan ketika organisasi IM keluar dari penjara-penjara Abdul Nasser pada awal tahun 70-an, mereka tiada mendapati pakaian untuk untuk dikenakan kecuali dari mereka para tokoh yang meninggalkan organisasi. Bahkan di antara mereka ada yang memasukkan dirinya dalam bahaya dengan memberikan bantuan materi dan bantuan kepada keluarga-keluarga anggota IM di luar penjara-penjara. Sebagaimana disebutkan oleh Al Ghazaly dalam memoarnya. Dan Wahbah Hasan Wahbah pemilik penerbitan terkenal yang dipenjara karena memberikan bantuan-bantuan materi kepada anggota-anggota IM dan yang lain yang tidak dapat disebutkan mengingat sempitnya tempat untuk menyebutkannya. Kesemuanya memercikkan jiwa besar, akhlak yang baik, tidak pura-pura lupa, dan menjaga budi.


Catatan Pinggir dan Sumber-Sumber:
1. Lihat koran "Al Masry" edisi yang terbit 11/9/1952.

2. Lihat "Ibnul Qoryah Wal Kuttab" (memoar Al Qardlawy), Jilid II, hal. 248.

3. Lihat "Al Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana'atit Tarikh" karya Mahmud Abdul Halim (3/150-155).

4. Lihat sumber di atas (3/156).

5. Lihat memoar Abdul Aziz Kamil dengan judul "Fi Nahril Hayah" cetakan Al Maktab Al Masry Al Hadits.

6. Dari pertemuan dengan Syeikh Abdul Tawwab Haikal, salahseorang tahanan IM di Penjara Perang tahun 1954. Ketika itu Abdul Aziz Kamil adalah penyebab yang menghalangi penyiksaan terhadapnya ketika memasuki penjara itu pertama kali; tatkala ia mengharap para perwira penjara tidak menyiksanya maka mereka menerima permintaan itu.

7. Beliau adalah Syeikh Hasan Isa Abdul Dhahir. Dari pertemuan dengan Syeikh Yusuf Al Qardlawy.

8. Dari pertemuan Dr. Hasan Isa Abdul Dhahir, salahseorang tahanan IM di Penjara Perang tahun 1954 dengan Dr. Abdul Aziz Kamil dalam satu sel.

9. Dari pertemuan dengan Ali Nuwaito, salahseorang anggota Jaringan Khusus (At Tanzim Al Khas) cabang Imbaba, dan salahseorang terdakwa perencanaan operasi pembunuhan Gamal Abdul Nasser. Ia telah telah dihukum kerja paksa seumur hidup pada tahun 1954.

10. Lihat mukaddimah buku "Syahadah … Aqsamtu An Aquulal Haqqa" yaitu kesaksian Syeikh Shalah Abu Ismail dalam masalah Jaringan Khusus, cetakan Darul I'tisham.

11. Saya telah mendengar teks surat Syeikh Shalah Abu Ismail kepada Presiden Gamal Abdul Nasser dalam salahsatu putaran pemilihan umum. Salahseorang alumnus Al Azhar telah membacakannya di depan hadirin di masjid besar di kota Oseim, Gizah, dari bab tudingan terhadap Shalah Abu Ismail atas kelemahannya, dan perusakan citranya. Dengan itu mungkin akan menghancurkan dukungan para pemuda IM padanya. Satu hal yang berbalik terhadapnya. Shalah Abu Ismail menjawab dengan perkataannya "Sesungguhnya kata 'Dari Tahanan' yang ada pada awal surat seharusnya berada setelahnya, yaitu satu gambaran yang saya berada dalam satu realita yang pahit; satu siksaan berat badan dan jiwa." Maka bergemalah masjid itu dengan suara takbir sebagai dukungan terhadap Shalah Abu Ismail.

12. Lihat "Qissatu Hayati" karya Syeikh Muhammad Al Ghazaly.

--------------------------------------------------------------------------------

*Dikutip dari majalah bulanan Mesir "Al Kutub Wijhat Nadlar" edisi Oktober 2008.



**Peneliti dan da'i.


CATATAN:

- Artikel ini aslinya dimuat di majalah bulanan "Kutub Wihjat Nadlar"http://www.weghatnazar.com/article/article_details.asp?id=1303&issue_id=91

- Kemudian dimuat ulang di Islamonline.nethttp://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=ArticleA_C&cid=1225119329223&pagename=Zone-Arabic-Daawa%2FDWALayout
- Jika anda pernah membaca buku "Ayyamun min Hayati" yang merupakan kisah hidup "Wanita Besi" tokoh Persaudaraan Muslimat (Al Akhawat Al Muslimat) Zainab Al Ghazaly di Penjara Perang Abbasiyah era Gamal Abdul Nasser pasti anda akan nyambung dengan kisah ini. Buku Zainab Al Ghazaly itu pernah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi "Hari-hari Dalam Hidupku" pada tahun 90-an oleh penerbit GIP.

Mengenal Usman Taha; Penulis Khat Mushaf Madinah Al Munawwarah


USMAN TAHA penulis khat Mushaf Madinah Al Munawarah lahir di pedesaan kota Aleppo (Syria) pada tahun 1934. Ayahnya bernama Syeikh Abduh Husein Taha, imam dan khatib masjid serta syeikh surau (kuttab) desa itu. Ia memperoleh ijazah sarjana muda (licence) Syariah Islamiyah. Disamping itu ia memperoleh ijazah dalam khat Arab dari "Syeikhul Khatthatin" Dunia Islam almarhum Prof. Hamid Al Amidy pada tahun 1973. Pada tahun 1988 ia pergi ke Arab Saudi dan diangkat sebagai penulis khat di Kompleks Raja Fahd untuk Percetakan Mushaf di Madinah Al Munawwarah dan sebagai penulis Mushaf Kota Nabi itu. Pada tahun yang sama ia diangkat sebagai anggota Komite Juri Internasional Perlombaan Khat Arab yang berlangsung di Istambul setiap tiga tahun sekali. Tentang perjalanan hidup beliau dengan khat dan penulisan mushaf dengan berbagai riwayat, berikut petikan wawancaranya.
S: Kapan bakat khat anda muncul?
Bakat khat saya muncul semenjak kanak-kanak. Saya telah mengambil dasar-dasar khat dari ayah saya yang menguasai khat Riq'ah. Dan saya juga meniru khat yang ada di buku-buku hingga saya mampu meniru khat percetakan persis. Saya telah menulis sebuah nadhom dalam ilmu akidah dan matan dalam Nahwu sedangkan umur saya waktu itu belum mencapai delapan tahun. Khat ini masih ada pada saya dan saya simpan di perpustakaan saya. Ketika ayah saya mengirim saya ke kota Aleppo untuk belajar di sekolah menengah pertama saya berkenalan dengan penulis khat senior Muhammad Ali Maulawy. Dari beliau saya mengambil dasar-dasar khat Riq'ah, khat Farisy dan menulis dengan cat. Pada masa itu saya mengenal tidak sedikit penulis khat dan saya belajar dari mereka beberapa seni dalam khat Nasakh dan Riq'ah serta sedikit khat Farisy; diantara mereka adalah Husein Husni penulis khat asal Turki di Masjid Al Maulawiyah serta Ibrahim Ar Rifa'i.
Kemudian saya berpindah ke kota Damaskus atas tuntutan pekerjaan saya, dimana saya bekerja di bidang pengajaran dan pendidikan setelah memperoleh ijazah sekolah menengah atas dan setelah menyelesaikan sekolah saya di Darul Mu'allimin Aleppo. Disana saya mengenal penulis khat senior yang terkenal dengan "Penulis Khat Negeri Syam" Muhammad Badawy Ad Dirany. Saya dekat dengan beliau dari tahun 1960 hingga beliau meninggal dunia tahun 1967. Selama di kota Damaskus saya menyelesaikan study Fakultas Syariah saya pada tahun 1964 dan satu tahun lagi di Fakultas Tarbiyah. Kemudian saya berkenalan dengan "Penulis Khat Negeri Rafidain (Irak)" Muhammad Hasyim Al Baghdady sewaktu di Damaskus juga. Saya belajar dari beliau "seni-seni" dalam khat Tsuluts dan Nasakh. Kemudian saya belajar melukis dengan berbagai macamnya melalui seniman terkenal Sami Burhan dan seniman kreatif alm. Naim Ismail.
S: Anda menyebutkan, anda telah belajar melukis. Apakah disana ada hubungannya dengan khat?
Ya, lukisan memiliki hubungan yang erat dengan khat. Lukisan mampu membantu penulis khat untuk melakukan distribusi dan susunan yang indah. Penulis khat yang juga pelukis akan menjadi orang yang lebih faham dan lebih luas dalam pekerjaannya. Namun saya membatasi pekerjaan saya pada bidang ornamen islami untuk menghiasai lukisan-lukisan dan khat-khat saya dengan gambar-gambar islami yang indah.
S: Apakah jenis-jenis khat dan apakah khat yang sesuai untuk menulis Mushaf?
Pada saat ini kira-kira khat Arab terbatas pada enam jenis; khat Kufi, khat Tsuluts, khat Nasakh, khat Nasta'liq (Farisi), khat Diwany dan khat Riq'ah. Dan khat yang sesuai untuk penulisan Mushaf adalah khat Nasakh karena kejelasan kesederhanaannya serta lebih dikenal dikalangan orang-orang.
S: Apa rasam (bentuk tulisan) Usmani itu?
Rasam Usmani adalah bentuk tulisan yang digunakan menulis Al Qur'an zaman Amirul Mukminin Usman bin Affan. Kaum muslimin bersepakat (ijmak) untuk hanya menggunakan rasam ini sebagai bentuk akhir. Dan tidak dibolehkan penulisan mushaf-mushaf menyalahi itu.
S: Apa yang menjadikan khat anda istimewa dibanding khat-khat lainnya?
Dalam penulisan Mushaf-Mushaf saya berpijak pada sesuatu yang istimewa yaitu melonggarkan kata agar harakat-harakat dapat berada di atas huruf-huruf selanjutnya padanya dengan tanpa tercampur dan meninggalkan beberapa susunan khat yang menghalangi aturan.
S: Tidak mungkinkah komputer menggantikan penulisan dengan tangan?
Komputer adalah sebuah alat yang menakjubkan dan sebuah penemuan raksasa yang diperlukan oleh setiap insan terpelajar. Komputer pada hakekatnya adalah mukjizat abad keduapuluh. Sebuah alat bening bagai cermin yang dapat memantulkan apa yang diletakkan di dalamnya. Namun kita tidak dapat mengatakan bahwa komputer dapat menggantikan penulis khat. Karena penulis khat adalah orang yang berkreasi. Sebagaimana komputer mengandalkan pada penyusunan huruf-huruf, sedangkan penyusunan huruf-huruf itu mengandalkan kaligrafi horizontal. Dan kesemua ini mengurangi keindahan khat. Cara terbaik bagi penulisan Al Quran adalah dengan tulisan tangan. Karena ia kuat, teratur, memiliki daya tarik, bagus, keindahan yang selalu dibutuhkan.
S: Bagaimana anda memulai menulis khat dan bagaimana fase-fase persiapan untuk itu?
Dengan memilih alat-alat tulis, seperti kertas yang bagus, tinta hitam dan pena yang sesuai. Memberi ornamen halaman yang disiapkan untuk menulis, memberi garis, memberi nomor, hendaklah ukuran halaman 70 X 100 bagi semua Mushaf dan setiap halaman terdiri dari 15 baris.
S: Kapan anda pertama kali menulis Mushaf?
Saya pertama kali menulis Mushaf pada tahun 1980 untuk Kementerian Wakaf Syria. Kemudian saya menulis satu Mushaf lain dengan riwayat Hafs untuk penerbit Darus Syamiyah. Setelah saya berada di Madinah Al Munawwarah saya mulai menulis mushaf dengan riwayat Warsy dengan supervisi Komite Ilmiah bagi Evaluasi Karangan yang terdiri dari para ulama qiraat senior dari berbagai negara Islam. Lalu saya lanjutkan dengan menulis Mushaf Hafs (yang halamannya tidak berakhir dengan sebuah ayat) sebagaimana Mushaf Mesir (As Syamarli). Lalu terlintas dalam benak saya untuk menulis Mushaf Hafs yang menarik perhatian saya dari sisi mutu khat dan bagusnya urutan. Halaman-halamannya dimulai dengan sebuah ayat dan berakhir dengan sebuah ayat. Atas pertolongan Allah saya telah menyelesaikan penulisannya dan menjadi sebuah tanda dalam keindahan; khat, harakat dan kesesuaian agar menjadi ganti dari mushaf lama yang dicetak di Kompleks Percetakan Mushaf secara terus menerus yang telah saya tulis sejak tigapuluh lima tahun yang lalu. Saya juga menulis mushaf dengan riwayat Qalun dimana telah dievaluasi dan siap untuk dicetak. Sebelumnya saya telah menulis sebuah mushaf dengan riwayat Ad Dury dan telah dicetak serta didistribusikan atas pertolongan Allah. Kemudian saya ikuti dengan penulisan mushaf-mushaf hingga jumlahnya lebih dari sepuluh mushaf hingga sekarang.
S: Bagaimana urutan mushaf dimana halamannya dimulai dengan sebuah ayat dan berakhir dengan sebuah ayat?
Saya telah mendapati sebuah mushaf lama yang ayat-ayatnya dibagi dimana halamannya dimulai dengan sebuah ayat dan begitu pula berakhir dengan sebuah ayat. Mushaf ini berasal dari zaman Turki Usmani (Ottoman) yang ditulis dengan tulisan Imlak dan saya menguasai contoh ini dan saya telah menulisnya dengan tulisan Usmani sesuai urut-urutan mushaf Turki ini. Atas pertolongan Allah, saya adalah orang pertama yang menulis mushaf seperti bentuk ini; yaitu salinan yang telah dicetak di Kompleks Percetakan Mushaf semenjak diresmikannya. Mereka telah mendapati di dalamnya pengaturan yang baik serta susunan yang indah dan setiap juz terdiri dari duapuluh halaman dari awal Al Quran hingga akhir. Orang-orang yang menghafal Al Quran menemukan sebuah metode yang dapat membantu mereka untuk menghafal dalam hal itu, karena itu mereka menamakannya dengan "Mushaful Huffaz" (Mushaf Para Penghafal Al Qur'an).
S: Berapa lama anda membutuhkan waktu untuk menulis satu naskah dari mushaf yang ada pada anda?
Sekitar dua setengah tahun dengan evaluasi (tashih) terus menerus yang menyertai penulisan.
S: Bagaimana perasaan anda ketika menulis mushaf?
Tidak mungkin memulai menulis kecuali saya dalam keadaan bersuci. Dan saya tidak banyak bergaul dengan orang-orang agar fikiran saya tetap jernih dan tidak terjatuh pada kesalahan, karena kesalahan dalam Al Quran tidak dapat diterima. Adapun perasaan saya ketika menulis, saya melihat diri saya berada dalam dunia ayat-ayat yang mulia yang mana saya mengutip dari ayat-ayat itu sebuah ilmu dan meningkatkan spiritual saya. Sebuah dunia yang bukan dunia manusia yang disibukkan oleh kehidupan sehari-hari. Ayat-ayat yang memberi kabar gembira dan ayat-ayat yang memberi peringatan. Kisah-kisah yang menarik dan indah seperti kisah-kisah para nabi yang mulia dan kisah kaum-kaum masa lalu. Saya tidak terasa oleh perjalanan waktu dan saya tidak memperhatikan apa yang terjadi di sekeliling saya. Ayat-ayat Al Quran menguasai saya. Saya tenggelam dalam alam cahaya dan nurani; tak tertipu oleh dunia dan saya berbekal untuk akhirat saya. Saya berbuat amal-amal shalih agar dapat mencapai Surga yang dijanjikan untuk orang-orang yang bertaqwa (dengan rahmat Allah dan ampunanNya). Dan saya menjauhi setiap apa yang membawa saya pada Neraka (naudzu billahi). Di dalamnya ada perasaan takut dan harapan. Saya senantiasa berdoa kepada Allah agar menjadikan pekerjaan saya ikhlas karena Allah semata. (farhankournia)
(Dari Berbagai Sumber)

Tuesday, February 27, 2007

Belajarlah Walau Ke Aceh


Aceh akan selalu menjadi daerah modal bagi Republik Indonesia, tidak terkecuali ketika masa Revolusi Fisik dengan memberikan sumbangan pesawat Seulawah. Jauh setelah itu Aceh akan tetap memberikan kontribusi besar bagi Negeri Pulau Kelapa ini, khususnya setelah berakhirnya konflik Aceh dan ditandatanganinya MoU Helsinki.


Kekerasan jiwa orang-orang Aceh yang mereka warisi dari leluhurnya telah mengajarkan kepada suku-suku lain bagaimana menuntut hak yang selama ini dieksploitasi habis untuk membangun Jakarta. Ketidakberdayaan TNI memadamkan pemberontakan di Aceh dan ketidakberdayaan TNA (Tentara Neugara Acheh) untuk meraih apa yang mereka impikan, ditambah dengan tragedi Tsunami yang menewaskan puluhan ribu jiwa telah memaksa kedua belah pihak duduk dalam meja perundingan. Dan, perundingan adalah cara terbaik untuk mengkompromikan jalan tengah tatkala senjata tak mampu lagi menyelesaikan masalah.

Kekerasan jiwa inilah yang seharusnya dimiliki suku-suku lain di luar Aceh, jika ingin pemerataan kemakmuran. Pada paruh kedua tahun 50-an dan awal 60-an, PRRI/Permesta pernah menuntut hal sama, yaitu keseimbangan keuangan pusat-daerah, tapi akhirnya gagal akibat patah arang. Pada jaman Soeharto tak satupun dari anak bangsa ini berani menggugat ketimpangan ini, semua takut pada Baju Hijau. Terkecuali mereka yang ada dalam hutan-hutan di Serambi Mekkah sana.

Keputusan yang diambil pemerintahan SBY melalui Wakil Presidennya Jusuf Kalla amatlah tepat, meski mendapat tantangan tidak kecil dari para mantan petinggi militer, partai-partai ultra-nasionalis, dan tokoh-tokoh nasional lain seperti Gus Dur dan Megawati.


Jelas, hasil kesepakatan Helsinki akan memangkas hasil sumber-sumber alam yang selama ini dinikmati Jakarta sejak kemerdekaan. Namun demikian kesepakatan ini telah memenuhi rasa keadilan.


MoU Helsinki jika ditegakkan apa adanya--tanpa anulir DPR-RI--akan memberikan wewenang yang lebih banyak bagi Pemerintahan Aceh, termasuk akan menjadikan Aceh sebagai kawasan terbuka sebagaimana negara-negara maju lainnya. Yang terakhir inilah yang tidak pernah ada dalam sejarah berdirinya negara Republik Indonesia.

Kita terbiasa dicekoki jargon nasionalisme sempit, sikap curiga berlebihan pada hal yang ada di luar kita, menutup diri dari pergaulan bangsa-bangsa lain, hingga pun pada aturan kewarganegaraan kita tidak mengenal kewargaan ganda. Padahal sejarah Nusantara ini tidak pernah mencatat demikian sejak awal. Kita merupakan bangsa-bangsa terbuka, mau menerima hal-hal baru dari bangsa lain: budaya, agama, dan lainnya. Bangsa Bugis pelaut ulung dengan perahu layar Pinisi mengarungi Samudera Hindia hingga Tanjung Harapan, kapal-kapal dagang Sriwijaya berlayar hingga Cina, kekuasaan Majapahit meliputi Semenanjung Melayu, Kesultanan Demak mengirimkan ekspedisi militer mengusir Portugis yang menguasai Malaka. Karena nenek moyang kita menyadari, pada hakekatnya kehidupan ini--termasuk membangun sebuah peradaban besar--adalah tak lepas dari memberi dan menerima (mengambil) dari bangsa-bangsa lain.

Ketakutan dan sikap despotisme setiap rejim penguasa yang dimulai dari Soekarno dan diwarisi Soeharto terhadap hal-hal yang mampu menggoyang kekuasaan mereka, pada akhirnya menjadikan kita sebagai bangsa yang berwawasan sempit, bangsa inferior, takut pada keterbukaan dan perbedaan.

Satu hal akhir yang mesti kita ingat bahwa negara Republik Indonesia yang sepakat kita dirikan bersama bukanlah pelanjut negara Hindia Belanda. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pelanjut kejayaan masa lalu Negeri Pulau Kelapa ini dengan sebuah entitas baru, meski melalui penaklukan dan pasifikasi yang dilakukan Hindia Belanda. Kita melanjutkan kebesaran masa lalu dalam satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air, yang tak lagi terpecah oleh feodalisme kekuasaan sultan-sultan lokal. Melainkan sebuah kekuasaan integral yang dikelola bersama anak-anak Negeri Pulau Kelapa; berdiri sama tinggi duduk sama rendah.

Terpilihnya Irwandi Yusuf "Tengku Isnandar Al Pasee" mantan Menteri Propaganda Gerakan Aceh Merdeka dan Muhammad Nazar Ketua Presidium SIRA dalam pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh beberapa waktu lalu akan menjadi tonggak ujian. Mampukah Aceh memberi inspirasi bagi bangkitnya kembali kejayaan Islam sebagaimana masa Kesultanan Samudera Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat, keadilan pusat-daerah, dan kemakmuran merata di Negeri Pulau Kelapa ini pada masa mendatang, ataukah justeru awal dari sebuah percobaan politik yang membawa petaka seperti bekas Uni Soviet. Semua akan kita saksikan setelah pemilu 2009, dimana partai-partai politik lokal Aceh akan bertarung dengan partai-partai politik nasional di Serambi Mekkah. *****

Ruaq Indonesia Merdeka, 28 Peb.'07.

Monday, February 26, 2007

Aksi Terorisme dan Urgensi Perbaikan Pendidikan Islam di Indonesia

Farhan Kurniawan*

Berbagai ledakan bom yang melanda Indonesia akhir-akhir ini adalah sebuah fenomena yang amat memprihatinkan. Hal ini disamping membuat masyarakat merasa tidak aman, karena kebanyakan korban dari ledakan-ledakan bom tersebut adalah rakyat sipil yang tidak berdosa. Juga mencitrakan bahwa masyarakat muslim, khususnya Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, identik dengan kekerasan. Sebuah hal yang berkontradiksi dengan ajaran Islam yang lurus, toleran (hanifiyah samhah), penuh kasih sayang, dan rahmat bagi sekalian alam. Disamping tidak sesuai dengan Islam kultur Melayu yang terkenal toleran dan lebih lembut selama ini, dibandingkan dengan Islam yang berlatar belakang kultur lain, seperti Semenanjung Arabia, Afrika, ataupun Asia Tengah.

Sebenarnya, fenomena bom di Indonesia bukanlah hal baru. Berbagai pemboman dengan dengan berbagai motif, khususnya masalah agama dan politik pernah mewarnai republik ini semenjak berdirinya. Pada jaman Orde Lama kita mengenal Bom Cikini yang hampir menewaskan Presiden Soekarno. Selanjutnya jaman Orde Baru kasus pemboman Candi Borobudur, dan meledaknya Bis Pemudi yang berisi bom di Banyuwangi dalam perjalanan menuju Bali. Kedua ledakan bom terakhir diatas mengingatkan kita pada konflik tarik ulur antara pemerintah masa itu dengan kekuatan yang menolak diktatorisme dan arogansi penerapan asal tunggal Pancasila.

Tragedi pemboman pada tahun 2000-an ini teramat menarik, karena terjadi justru setelah tumbangnya diktatorisme Orde Baru. Serta justeru pada saat angin reformasi bertiup kencang menerpa berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, disamping pada saat ummat Islam mulai mendapatkan peranannya lebih baik daripada masa lalu. Pemboman kali ini tidaklah terkait dengan politik dalam negeri sebagaimana masa lalu, sebaliknya terkait dengan wacana globalisasi yang telah merambah pelosok-pelosok dunia, dimana konflik di suatu tempat akan memberikan pengaruh pada tempat dan bangsa lain. Pemboman yang terjadi saat ini merupakan kepanjangan tangan-tangan gerakan Islam radikal yang mempunyai jaringan di Indonesia, sebagaimana kasus bom Bali 2002 dan pernyataan Al Qaedah pimpinan Osamah Bin Laden sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemboman tersebut. Juga pernyataan Jemaah Islamiyah Wilayah Asia Timur sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemboman Kedubes Australia beberapa waktu yang lalu.

Namun sangatlah disayangkan bahwa penanganan pemerintah terhadap aksi-aksi terorisme dan pemboman-pemboman yang selalu berpijak atas nama agama ini kurang menyentuh permasalahan pokok, alias hanya dengan sentuhan kasus perkasus. Penanganan pemerintah ini tidaklah dengan menyentuh tempat-tempat yang memungkinkan dijadikan sarang-sarang indoktrinasi untuk melakukan aksi-aksi pengeboman. Sehingga kasus sedemikian memungkinkan untuk terjadi berulang-ulang, entah sampai kapan.

Saya dalam hal ini bukannya hendak mencoba membuka kesempatan bagi campurtangan asing terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia, sebagaimana Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang pada saat ini mencoba bercampurtangan terhadap kurikulum pendidikan Islam di Mesir, Arab Saudi, Pakistan, dan negara-negara Islam lainnya. Bahkan di Indonesia, belakangan ini Pemerintah AS melalui kedubesnya di Jakarta dengan gencar mengirimkan paket berisi buku-buku berbagai wacana "istinarah" (pencerahan) ke pesantren-pesantren. Disamping Kedubes AS juga telah berhasil membuka berbagai "American Corner" di beberapa universitas, al. Unair, Unibraw, UMM, dll. dengan tujuan menunjukkan wajah manis Amerika Serikat pada warga Indonesia serta toleransi terhadap kaum muslimin dalam masyarakat Amerika Serikat. Sebaliknya, saya menginginkan agar pendidikan Islam di Indonesia semakin maju dan solid mengiringi kemajuan jaman. Dengan kemajuan dan kesolidan itu akan menjauhkan dari campurtangan asing, karena tidak ada alasan bagi pihak asing untuk bercampurtangan. Karena bagaimanapun Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam merupakan sebuah benteng Islam di Asia Tenggara dan Timur Jauh.

Walaupun tidak sedikit pihak yang menolak mengkaitkan aksi terorisme dengan dunia pesantren.Namun wajah pesantren kita yang kurang begitu cerah, setidaknya dengan sendirinya membuat ragu pihak lain. Terbukti Kedubes AS masih saja mengirimkan paket-paket buku untuk membuka wacana pesantren terhadap dunia luar.
Kita harus mengakui bahwa pendidikan Islam kita, khususnya dunia pesantren, masih membutuhkan banyak sentuhan dan kerja keras agar lebih maju. Warna pendidikan pesantren kita kebanyakan masih berwajah tradisional, bergulat dengan kehidupan masa lalu. Hingga terkadang realita kekinian jarang dibahas di alam pesantren. Wacana globalisasi dan pemikiran-pemikiran Islam moderen kurang begitu menyentuh, bahkan pemikiran-pemikiran Islam klasik sendiri yang merupakan akar-akar pemikiran Islam kontemporer terkadang susah dijumpai disana. Meskipun usaha-usaha mengkaitkan alam pesantren dengan realitas dunia moderen telah lama dimulai.

Sebenarnya, tumbuh suburnya benih-benih pemikiran Islam ekstrem disamping memungkinkan terjadi di pesantren, juga dapat terjadi di lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pendidikan Islam non-formal, alias kursus-kursus keislaman. Karena sebagaimana diketahui, sangat susah mengawasi kurikulum pesantren-pesantren dan kursus-kursus keislaman yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan ribu di republik ini. Disamping pemerintah sebagai otoritas penyelenggara negara tidak membuat sebuah kurikulum baku untuk diajarkan di seluruh pesantren di Indonesia, sebagaimana dalam pendidikan umum. Bahkan selama ini tidak terpikirkan oleh pemerintah untuk membentuk sebuah dewan tinggi pesantren yang independen dimana penyusunan dan pengawasan kurikulum pesantren-pesantren dilakukan sehingga pendidikan Islam di Indonesia bertambah maju dan berjiwa moderat.

Saya disini tidak ingin membuat sebuah generalisasi terhadap semua pesantren. Karena disana masih banyak pesantren yang berafiliasi pada ormas-ormas keagamaan moderat serta konsisten terhadap wawasan kebangsaan dan tanah air, disamping senantiasa membekali peserta didik dengan ilmu-ilmu keislaman moderat. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika pesantren menjadi kawah candradimuka para martyr serta pesantren hanya membekali peserta didik dengan indoktrinasi keislaman garis keras sehingga menimbulkan masalah baru di masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa dunia pesantren kita pada saat ini telah menjadi demikian warna warni, tidak seperti dulu lagi.

Kondisi pendidikan Islam di Indonesia yang sedemikian, hampir tidak jauh dari keadaan di Pakistan dimana kebanyakan institusi-institusi pendidikan keagamaan dikelola dan diselenggarakan non-pemerintah, serta penuh indoktrinasi dan wacana martyr. Hal yang membuat warna kekerasan hampir mendominasi setiap hari (Newsweek Arabic, Dec. 2003). Karena itu mengingat pentingnya peranan lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini pesantren. Maka pemerintah dituntut untuk dapat memberikan kontribusi positif lebih banyak lagi dan warna bagi pesantren, demi masa depan Indonesia yang gemilang.

Saya rasa sudah saatnya pemerintah mau membuka diri lebih jauh terhadap dunia pesantren dengan mengambil pengalaman bangsa-bangsa lain serta mau mengadopsi sistem pengajaran Islam moderat dengan tetap memperhatikan kualitas. Jika pada saat ini, Al Azhar di Mesir adalah patron Dunia Arab dan Islam yang telah teruji selama berabad-abad dan diakui dunia mampu memberikan pendidikan keagamaan yang moderat. Di samping Al Azhar terkenal konsisten dengan wawasan kebangsaan dan wawasan tanah air ditengah-tengah masyarakat Mesir yang pluralistik agama dan aliran politik, serta masyarakat berkultur Sunni moderat yang berlatar belakang agraris. Sebagaimana ciri utama masyarakat kita, masyarakat Indonesia, masyarakat Islam Melayu. *****

* Mantan santri. Artikel ini pernah dimuat di Harian WASPADA Medan.