Monday, February 26, 2007

Aksi Terorisme dan Urgensi Perbaikan Pendidikan Islam di Indonesia

Farhan Kurniawan*

Berbagai ledakan bom yang melanda Indonesia akhir-akhir ini adalah sebuah fenomena yang amat memprihatinkan. Hal ini disamping membuat masyarakat merasa tidak aman, karena kebanyakan korban dari ledakan-ledakan bom tersebut adalah rakyat sipil yang tidak berdosa. Juga mencitrakan bahwa masyarakat muslim, khususnya Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, identik dengan kekerasan. Sebuah hal yang berkontradiksi dengan ajaran Islam yang lurus, toleran (hanifiyah samhah), penuh kasih sayang, dan rahmat bagi sekalian alam. Disamping tidak sesuai dengan Islam kultur Melayu yang terkenal toleran dan lebih lembut selama ini, dibandingkan dengan Islam yang berlatar belakang kultur lain, seperti Semenanjung Arabia, Afrika, ataupun Asia Tengah.

Sebenarnya, fenomena bom di Indonesia bukanlah hal baru. Berbagai pemboman dengan dengan berbagai motif, khususnya masalah agama dan politik pernah mewarnai republik ini semenjak berdirinya. Pada jaman Orde Lama kita mengenal Bom Cikini yang hampir menewaskan Presiden Soekarno. Selanjutnya jaman Orde Baru kasus pemboman Candi Borobudur, dan meledaknya Bis Pemudi yang berisi bom di Banyuwangi dalam perjalanan menuju Bali. Kedua ledakan bom terakhir diatas mengingatkan kita pada konflik tarik ulur antara pemerintah masa itu dengan kekuatan yang menolak diktatorisme dan arogansi penerapan asal tunggal Pancasila.

Tragedi pemboman pada tahun 2000-an ini teramat menarik, karena terjadi justru setelah tumbangnya diktatorisme Orde Baru. Serta justeru pada saat angin reformasi bertiup kencang menerpa berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, disamping pada saat ummat Islam mulai mendapatkan peranannya lebih baik daripada masa lalu. Pemboman kali ini tidaklah terkait dengan politik dalam negeri sebagaimana masa lalu, sebaliknya terkait dengan wacana globalisasi yang telah merambah pelosok-pelosok dunia, dimana konflik di suatu tempat akan memberikan pengaruh pada tempat dan bangsa lain. Pemboman yang terjadi saat ini merupakan kepanjangan tangan-tangan gerakan Islam radikal yang mempunyai jaringan di Indonesia, sebagaimana kasus bom Bali 2002 dan pernyataan Al Qaedah pimpinan Osamah Bin Laden sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemboman tersebut. Juga pernyataan Jemaah Islamiyah Wilayah Asia Timur sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemboman Kedubes Australia beberapa waktu yang lalu.

Namun sangatlah disayangkan bahwa penanganan pemerintah terhadap aksi-aksi terorisme dan pemboman-pemboman yang selalu berpijak atas nama agama ini kurang menyentuh permasalahan pokok, alias hanya dengan sentuhan kasus perkasus. Penanganan pemerintah ini tidaklah dengan menyentuh tempat-tempat yang memungkinkan dijadikan sarang-sarang indoktrinasi untuk melakukan aksi-aksi pengeboman. Sehingga kasus sedemikian memungkinkan untuk terjadi berulang-ulang, entah sampai kapan.

Saya dalam hal ini bukannya hendak mencoba membuka kesempatan bagi campurtangan asing terhadap dunia pendidikan Islam di Indonesia, sebagaimana Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang pada saat ini mencoba bercampurtangan terhadap kurikulum pendidikan Islam di Mesir, Arab Saudi, Pakistan, dan negara-negara Islam lainnya. Bahkan di Indonesia, belakangan ini Pemerintah AS melalui kedubesnya di Jakarta dengan gencar mengirimkan paket berisi buku-buku berbagai wacana "istinarah" (pencerahan) ke pesantren-pesantren. Disamping Kedubes AS juga telah berhasil membuka berbagai "American Corner" di beberapa universitas, al. Unair, Unibraw, UMM, dll. dengan tujuan menunjukkan wajah manis Amerika Serikat pada warga Indonesia serta toleransi terhadap kaum muslimin dalam masyarakat Amerika Serikat. Sebaliknya, saya menginginkan agar pendidikan Islam di Indonesia semakin maju dan solid mengiringi kemajuan jaman. Dengan kemajuan dan kesolidan itu akan menjauhkan dari campurtangan asing, karena tidak ada alasan bagi pihak asing untuk bercampurtangan. Karena bagaimanapun Indonesia dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam merupakan sebuah benteng Islam di Asia Tenggara dan Timur Jauh.

Walaupun tidak sedikit pihak yang menolak mengkaitkan aksi terorisme dengan dunia pesantren.Namun wajah pesantren kita yang kurang begitu cerah, setidaknya dengan sendirinya membuat ragu pihak lain. Terbukti Kedubes AS masih saja mengirimkan paket-paket buku untuk membuka wacana pesantren terhadap dunia luar.
Kita harus mengakui bahwa pendidikan Islam kita, khususnya dunia pesantren, masih membutuhkan banyak sentuhan dan kerja keras agar lebih maju. Warna pendidikan pesantren kita kebanyakan masih berwajah tradisional, bergulat dengan kehidupan masa lalu. Hingga terkadang realita kekinian jarang dibahas di alam pesantren. Wacana globalisasi dan pemikiran-pemikiran Islam moderen kurang begitu menyentuh, bahkan pemikiran-pemikiran Islam klasik sendiri yang merupakan akar-akar pemikiran Islam kontemporer terkadang susah dijumpai disana. Meskipun usaha-usaha mengkaitkan alam pesantren dengan realitas dunia moderen telah lama dimulai.

Sebenarnya, tumbuh suburnya benih-benih pemikiran Islam ekstrem disamping memungkinkan terjadi di pesantren, juga dapat terjadi di lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pendidikan Islam non-formal, alias kursus-kursus keislaman. Karena sebagaimana diketahui, sangat susah mengawasi kurikulum pesantren-pesantren dan kursus-kursus keislaman yang jumlahnya puluhan bahkan ratusan ribu di republik ini. Disamping pemerintah sebagai otoritas penyelenggara negara tidak membuat sebuah kurikulum baku untuk diajarkan di seluruh pesantren di Indonesia, sebagaimana dalam pendidikan umum. Bahkan selama ini tidak terpikirkan oleh pemerintah untuk membentuk sebuah dewan tinggi pesantren yang independen dimana penyusunan dan pengawasan kurikulum pesantren-pesantren dilakukan sehingga pendidikan Islam di Indonesia bertambah maju dan berjiwa moderat.

Saya disini tidak ingin membuat sebuah generalisasi terhadap semua pesantren. Karena disana masih banyak pesantren yang berafiliasi pada ormas-ormas keagamaan moderat serta konsisten terhadap wawasan kebangsaan dan tanah air, disamping senantiasa membekali peserta didik dengan ilmu-ilmu keislaman moderat. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketika pesantren menjadi kawah candradimuka para martyr serta pesantren hanya membekali peserta didik dengan indoktrinasi keislaman garis keras sehingga menimbulkan masalah baru di masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa dunia pesantren kita pada saat ini telah menjadi demikian warna warni, tidak seperti dulu lagi.

Kondisi pendidikan Islam di Indonesia yang sedemikian, hampir tidak jauh dari keadaan di Pakistan dimana kebanyakan institusi-institusi pendidikan keagamaan dikelola dan diselenggarakan non-pemerintah, serta penuh indoktrinasi dan wacana martyr. Hal yang membuat warna kekerasan hampir mendominasi setiap hari (Newsweek Arabic, Dec. 2003). Karena itu mengingat pentingnya peranan lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini pesantren. Maka pemerintah dituntut untuk dapat memberikan kontribusi positif lebih banyak lagi dan warna bagi pesantren, demi masa depan Indonesia yang gemilang.

Saya rasa sudah saatnya pemerintah mau membuka diri lebih jauh terhadap dunia pesantren dengan mengambil pengalaman bangsa-bangsa lain serta mau mengadopsi sistem pengajaran Islam moderat dengan tetap memperhatikan kualitas. Jika pada saat ini, Al Azhar di Mesir adalah patron Dunia Arab dan Islam yang telah teruji selama berabad-abad dan diakui dunia mampu memberikan pendidikan keagamaan yang moderat. Di samping Al Azhar terkenal konsisten dengan wawasan kebangsaan dan wawasan tanah air ditengah-tengah masyarakat Mesir yang pluralistik agama dan aliran politik, serta masyarakat berkultur Sunni moderat yang berlatar belakang agraris. Sebagaimana ciri utama masyarakat kita, masyarakat Indonesia, masyarakat Islam Melayu. *****

* Mantan santri. Artikel ini pernah dimuat di Harian WASPADA Medan.

1 comment:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.