Wednesday, January 31, 2007

Bersama Kota Inten* Kulabuhkan Harapan

Oleh: Farhan Kurniawan

Aku termenung menatap deru ombak pantai Tanjung Priok yang berkejaran ditimpa nyanyian camar sore hari. Sinar matahari senja dari ufuk barat yang berwarna lembayung menambah temuramnya suasana hatiku. Anganku menerawang jauh menembus sekat-sekat waktu menuju masa kanak-kanakku.
Aku dilahirkan sebagai anak laki-laki ketiga dari tujuh bersaudara, di sebuah desa kecil di ujung timur Pulau Madura yang gersang. Ayahku seorang wedana yang mempuyai ladang pertanian luas serta tambak garam yang digarap pada musim kemarau. Sedang ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Ia begitu bersahaja sebagaimana ibu-ibu rumah tangga pedesaan Madura. Ibu terkadang membantu ayah mengawasi para pekerja di ladang atau tambak garam. Jika sedang tidak ada pekerja di ladang, ibu pergi ke pasar untuk sekedar membeli bahan-bahan kebutuhan dapur. Selebihnya ibu sibuk di rumah mengerjakan urusan rumah tangga.
Keluarga wedana merupakan keluarga terhormat, mempunyai status sosial tinggi di kalangan masyarakat pedesaan pada tahun 20-an. Jika ia turun ke desa-desa sekedar untuk melihat suasana atau mengunjungi bawahannya, maka rakyat akan senantiasa mengelu-elukannya. Sepulangnya pasti akan ada sebuah pedati yang ditarik dua ekor sapi penuh berisi hasil bumi menurunkan muatannya di depan rumahku.
Aku menamatkan HIS (Hollandsch-Inlandsche School), sekolah dasar inlander, ketika berumur 16 tahun. Aku tidak begitu tertarik melanjutkan sekolah yang lebih tinggi. Aku lebih suka bertualang; nonton karapan sapi, berkumpul dengan para blater, menghadiri remo atau perkumpulan para jawara carok yang biasanya diiringi tayub, ludruk, serta judi kecil-kecilan pada malam hari.
Akibat kebiasaan buruk bagi anak seusiaku ini, aku sering kena damprat ayah. Bahkan akibat begadang malam menghadiri remo, aku sering bolos sekolah. Pernah mantri sekolah mendapatiku tidak ada di kelas sewaktu jam pelajaran. Esoknya aku dimarahi habis-habisan dan distrap dibawah terik matahari yang menyengat hingga pelajaran usai.

Dari kehidupan ningrat kelas menengah ditempa oleh pergaulan masyarakat yang keras dan iklim tandus ini, aku tumbuh menjadi seorang remaja yang berwatak keras, sebagaimana watak para bangsawan Madura pada umumnya.
Ketika usiaku menginjak 18 tahun, ayah mengirimku ke Surabaya, untuk tinggal bersama kakak lelakiku yang bekerja sebagai ambtenar. Sebagaimana penduduk Jawa Timur pada umumnya, penduduk Madura menjadikan Surabaya sebagai tujuan hijrah, ketika kehidupan di kampung sudah tidak menjanjikan lagi.
“Aku masih suka tinggal di Kalianget. Tidak mungkin aku pergi jauh meninggalkan ibu dan ayah,” kataku kepada ayah suatu hari.
“Demi masa depanmu, sebaiknya engkau belajar dari kakakmu yang telah berhasil. Sebagai seorang anak wedana sudah seharusnya engkau mengikuti jejak ayahmu mengabdi kepada Pemerintah Hindia Belanda!” kata ayah berapi-api meyakinkanku di hadapan ibu dan saudaraku yang lain.
Kakak lelakiku adalah seorang pegawai negeri yang ulet, ia mengabdi sebagai anggota polisi Hindia Belanda yang berkantor di dekat gedung Internatio.
Setahun kemudian atas saran kakakku aku masuk dalam dinas KNIL. Karena kebetulan Tentara Kerajaan Hindia Belanda sedang merekrut anggota baru, akibat kondisi politik dunia yang mulai memanas. Aku ingat betul, saat itu tahun 1939. Ya, tahun 1939. Ketika Ratu Wilhelmina lewat pidato radio menyerukan mobilisasi umum di Hindia Belanda.
Mulai saat itu secara resmi aku tercatat sebagai anggota dinas Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger).
Ketika Jepang mulai memasuki Hindia Belanda aku tengah bertugas di Boyolali, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, sebagai komandan onderdistrict KNIL.
Benakku takkan melupakan, ketika kami tengah lelap dibuai mimpi malam tiba-tiba sirine siaga mengaung. Lewat telepon komandan district mengabarkan bahwa Semarang telah diduduki Jepang. Malam itu kami diperintahkan siap siaga, karena balatentara Jepang tengah bergerak ke arah selatan. Meski tidak pernah terjadi kontak senjata antara kekuatan kami dengan tentara Jepang, karena Letnan Kolonel Steenbrink, Komandan District kami memerintahkan untuk tidak mengadakan perlawanan, namun suasana saat itu begitu tegang, juga hari-hari selanjutnya.
Malam itu kami menjadi tahanan militer Jepang. Dikumpulkan di halaman onderdistrict yang luas, lalu dipisahkan antara pribumi dan Belanda. Setelah mengalami interogasi dan beberapa kali tamparan, komandan Kenpetai yang menangani kami membebaskan orang-orang pribumi. Letnan Kolonel Steenbrink, Karel, Arthur dan orang-orang Belanda lain yang ada dalam KNIL District Boyolali mereka angkut dalam sebuah truk militer ke arah utara, menuju Semarang. Konon mereka dibawa ke interniran, dikumpulkan bersama orang-orang Eropa lainnya.
Tahun 1942 merupakan tahun yang teramat menegangkan di Hindia Belanda. Lewat sebuah upacara singkat, Letnan Jenderal Ter Poorten mewakili Gubernur Jenderal Tjarda menyerahkan kekuasaan Hindia Belanda kepada Jenderal Imamura, komandan balatentara Jepang di Kalijati, Subang.
Sebagai prajurit kecil, aku tidak tahu pasti apakah arti semua ini. Yang jelas jaman hidup nyaman telah berakhir, Hindia Belanda mulai tidak aman, jaman peperangan dimulai. Kemiskinan, kelaparan, pembunuhan, pembegalan merebak dimana-mana. Tiap hari ditemukan mayat-mayat membusuk akibat kelaparan dan penyakit.
Jepang yang mula-mula datang dengan sikap ramah dan mengaku Saudara Tua telah menampakkan taringnya. Semboyan 3A yang selama ini didengung-dengungkan mulai redup tidak terdengar lagi. Yang terdengar hanyalah berita penyiksaan oleh Kenpetai atau Polisi Militer, kelaparan dan berbagai kesengsaraan rakyat. Pendudukan Saudara Tua lebih kejam daripada pendudukan Belanda. Jika pada jaman noormal rakyat dapat makan kenyang dan beraktifitas dengan baik dan aman, maka jaman Jepang rakyat hanya dapat makan umbi-umbian dan jantung pisang, berpakaian dari bahan karung goni karena pabrik-pabrik pakaian telah ditutup. Kalaupun ada makanan dan pakaian hanyalah untuk tentara Jepang. Semua usaha ditujukan untuk mobilisasi dalam rangka mempertahankan kekuatan Jepang di Hindia Belanda dan Timur Jauh.

Menginjak tahun 1945 keadaan begitu kacau. Kabar-kabar radio memberitakan bahwa Negeri Belanda diduduki oleh tentara Nazi Jerman dan Ratu Wilhelmina membentuk pemerintah pengasingan di Inggris. Sementara kedudukan balatentara Jepang di berbagai front pertempuran mulai goyah. Rakyat pribumi dengan bekal kemiliteran seadanya diangkut ke berbagai front pertempuran luar negeri sebagai romusha untuk membantu Jepang. Sebuah hal yang tidak pernah dilakukan Belanda. Ribuan bahkan jutaan rakyat Hindia yang dipekerjakan paksa oleh Jepang pada akhirnya tidak pernah kembali.
Hingga tibalah hari itu. Hari dimana yang membuatku berada dalam dilema. Ya, 17 Agustus 1945 adalah awal dari petaka itu; bagiku dan kawan-kawanku orang inlander yang bekerja pada pemerintah Hindia Belanda. Tujuhbelas Agustus 1945 merupakan awal dari perang saudara di Hindia Belanda; perang saudara yang menceraiberaikan sanak saudara setanah air.
Setelah pernyataan kemerdekaan yang diproklamasikan oleh dua tokoh muda: Soekarno-Hatta, stasiun radio Jepang di berbagai kota yang dikuasai para pemuda menyiarkan berulang-ulang berita ini. Hal ini menimbulkan berbagai insiden antara para pemuda yang bersemangat meluap-luap dengan balatentara Jepang yang bertugas menjaga Hindia agar tetap dalam kondisi status quo untuk diserahkan kepada Pemerintah Sipil Hindia Belanda atau NICA sesuai perjanjian takluk tanpa syarat yang ditandatangani Jepang.
Ketika suasana genting seperti saat itu, tiba-tiba datang seorang kurir ke rumahku. Ia membawa sepucuk surat penting yang ditandatangani Mayor Jenderal Van Hoven, Komandan Tertinggi KNIL Jawa Timur. Isi surat itu adalah seruan mobilisasi umum para mantan anggota KNIL sekaligus menghidupkan kembali ketentaraan Hindia Belanda yang selama ini lebur akibat pendudukan Jepang.
Segera setelah mendaftarkan diri kembali di kantor KNIL di Kenjeran, aku memperoleh sebuah pistol, tanda kepangkatan dan beberapa stel pakaian loreng. Aku diangkat sebagai wakil panglima divisi infanteri, sebuah jabatan yang tinggi bagiku. Karena ketika Jepang datang dan KNIL dibekukan aku hanyalah seorang komandan onderdistrict (setingkat Koramil).
Sejak itu aku mulai berdinas kembali dalam KNIL, sebagai seorang wakil panglima divisi. Komandanku seorang Ambon yang keras, bernama Frans Mapallussy. Tak lama kemudian aku dipindahkan mengepalai sebuah resimen infanteri yang bernama "Korps Barisan Tjakra Madoera".
Tjakra adalah resimen infanteri KNIL yang terdiri dari pasukan pemukul. Tugas kami melakukan operasi gerak cepat alias mobile, kontragerilya, dan operasi sapu bersih. Nama korps kami ini telah membuat ciut nyali para gerilyawan republiken seantero Jawa Timur; mulai barat Surabaya hingga Semenanjung Blambangan. Meski korps kami beranggotakan orang-orang Ambon, Jawa, dan Manado, korps kami terkenal dengan nama "Korps Madura". Karena anggota korps kami yang terbanyak adalah orang-orang Madura sepertiku.

Pernah dalam sebuah operasi penggrebekan sarang gerilyawan TNI di sebuah kawasan selatan Malang, kami meluluhlantakkan sebuah desa dan membumihanguskannya semua isinya. Sebenarnya hatiku berontak dan merasa berdosa, bagaimana aku tega menyiksa dan membunuh bangsa sendiri. Tapi di lain sisi aku merasa bahwa apa yang aku lakukan adalah benar. Aku menegakkan aturan; menumpas para pemberontak ekstrimis yang hendak mengacaukan Tanah Hindia.
Tanah Hindia adalah bagian dari Negeri Belanda. Ratu Emma, Ratu Wilhelmina dan Ratu Juliana telah menyatukan dan membebaskannya dari cengkeraman kekuasaan raja-raja kecil. Merekalah yang membangun Tanah Hindia, memakmurkannya, mengatur pemerintahan, mengangkat gubernur jenderal, tentara, dan membuat volksraad (parlemen). Semuanya demi kesejahteraan seluruh rakyat Hindia.
Selanjutnya prestasi terbesar Tjakra adalah ketika kami berhasil menghabisi sebagian besar kekuatan tentara gerilya di selatan Jombang.

Ketika Perjanjian Renville ditandatangani pada bulan Februari 1948 posisi kaum republiken makin terdesak. Perjanjian ini mengharuskan penarikan kekuatan republiken dari enclave-enclave gerilya ke garis demarkasi. Dari seluruh Jawa Timur tentara republiken ditarik ke arah Madiun dan sekitarnya. Dan dari Jawa Barat Divisi Siliwangi ditarik ke Jogjakarta.
Belum stabil kondisi ini muncul pemberontakan komunis di Madiun yang dipelopori Pesindo pimpinan mantan PM Amir Syarifuddin pada bulan September 1948. Kondisi ini memaksa kekuatan republiken memusatkan diri di Madiun dan sekitarnya untuk memadamkan gerakan komunis. Tak lama kemudian Tentara Kerajaan Belanda mengadakan Aksi Polisionil II untuk mengejar kekuatan ekstremis republiken.
" .... Rrrreetttttttttttt-ret-rettttttttt .... tang-tang-tang ... dum-dum-dum ..."
Senjata mitralyur kami menyalak bersahutan dari rerimbunan pohon kelapa menghajar tentara republiken yang sedang berbaris menuju selatan.
Rupanya informan kami benar. Pagi buta itu pasukan gerilya republikan tengah menarik diri dari arah Jombang.
Hampir seratusan tentara republiken meregang nyawa, limabelas terluka. Kami menyita berbagai jenis persenjataan dari tangan mereka.
Bercerita tentang korpsku, Barisan Tjakra, bukan selalu bercerita tentang kegemilangan operasi terhadap kaum ekstrimis. Kami pernah gagal menyergap gerilyawan republiken, akibatnya lima anggotaku tewas. Ini peristiwa terburuk sejak terbentuknya korps.
Siang itu datang berita dari seorang informan bahwa menjelang Isya tentara gerilya akan melakukan rotasi melintasi bukit Arak-arak yang berkelok-kelok di jalur Bondowoso. Setelah menyusun strategi, lepas Ashar kami menuju kesana dari sebuah markas kami di kota Bondowoso. Ketika gelap turun, kami mengendap-endap di semak-semak kiri kanan jalan.
Tiba-tiba ... daaarrr-der-dooorrr ... treeettt-tet-treeettt ...!
Suara tembakan bertubi-tubi menyalak dari belakang kami. Secara reflek kami pun berloncatan. Setelah sadar dan mencari posisi kami membalas berondongan itu. Usai penyergapan yang gagal itu, kami mendapati lima anggota kami tewas. Tak jauh dari situ kami mendapati dua tubuh anggota TNI.
Sesampai di markas anggota-anggotaku marah besar dan memaki-maki. Malam itu juga aku perintahkan menghadirkan informan dan sumber awal. Setelah semua hadir, saya dan bagian intelejen segera menginterogasi. Pertama kami tanya baik-baik sumber pertama. Nampaknya dia grogi dan menyembunyikan sesuatu.
"Bapak saya bilang" kata sumber awal yang kami interogasi malam itu, "'Nak, kamu jangan ikut-ikutan gerilyawan TNI. Indonesia nggak bakalan merdeka. Jadilah kamu orang baik-baik saja.' Begitu pesan bapak saya. Sumpah, benar, saya bukan TNI dan bukan simpatisan TNI"
Pemuda itu kembali meyakinkan dengan mengulang kalimat yang sama. Beberapa serdadu Tjakra sudah berpikir untuk melepasnya.
Tapi seorang serdadu yang sedari tadi mengamati interogasi itu bertanya-tanya. Dia terus berpikir dan teringat secarik foto di ranselnya. Foto itu memuat pose Panglima Kompi Ki Ronggo yang dikelilingi sejumlah pengawalnya. Buru-buru dia mengambil foto itu dan mengamatinya. Anak muda itu .... anak muda itu ternyata berdiri memegang pistol di samping Letnan Alimuddin!
"Ini gambar siapa?"
"Bukan saya, Pak."
"Apa kau bilang ...!"
"Ini gambar siapa?"
"Betul Pak, ini bukan saya Pak. Sumpah Pak. Bapak saya berpesan, 'Nak kamu jangan ikut-ikutan TNI. Indonesia itu nggak bakalan merdeka. Jadilah orang baik-baik saja.' Pesan bapak saya begitu, Pak. Bener Pak. Sumpah. Saya bukan TNI."
"Akhirnya dia .... pura-pura goblok 'kan dia. Ngomong sama orang goblok ya 'disekolahkan' biar pandai."
"Disekolahkan" adalah istilah Barisan Tjakra untuk eksekusi mati bagi anggota TNI yang tertangkap.
Pemberontakan para pemuda ekstrimis sungguh telah menjerumuskan rakyat Hindia dalam penderitaan dan peperangan kejam berkepanjangan yang dimulai sejak jaman pendudukan Jepang.
Pengabdian kami terhadap Tanah Hindia memang tidak perlu diragukan. Terbukti dari beberapa kali perjanjian yang ditandatangani Kerajaan Belanda dengan kaum pemberontak, posisi kaum pemberontak makin terjepit. Kalaulah tidak ada campurtangan dari negara-negara lain, barangkali proklamasi Soekarno tak ubahnya bagai sandiwara satu babak.
Hingga datanglah berita yang mengejutkan kami, bagai petir di siang bolong. Perundingan KMB di Denhaag yang kami perkirakan akan mengakhiri kaum ekstrimis republiken ternyata lain. Ratu Juliana melalui Komisari Tinggi AHJ. Lovink pada akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949. Ini berarti bahwa perjuangan kaum pemberontak berhasil, dan apa yang kami perjuangkan dengan tetesan dan airmata menjadi sia-sia. Kami tidak berhasil mempertahankan Hindia Belanda.
Hatiku merasa kecut dengan keputusan politik ini. Seakan-akan perjuanganku tidak dihargai. Aku dan kawan-kawan yang mengabdi untuk persatuan dan kemakmuran Hindia Belanda disisihkan. Nyawa kawan-kawanku yang tewas oleh pemberontak ekstrimis dianggap angin lalu. Sebagai tentara jelas aku tersinggung dalam-dalam oleh keputusan ini.
“Kerajaan (Belanda) telah dengan sengaja membiarkan para ekstrimis musuh-musuh kami, musuh-musuh Hindia, menari-nari di pelupuk mataku, menghina, melecehkan, dan menginjak-injak martabatku!” hatiku mengumpat.
Keputusan itu begitu pahit bagi kami semua, tapi apa boleh buat. Keputusan politik menuntut demikian. Sebagai tentara pribumi kami akan patuh terhadap keputusan politik.
"Dreeeeettttt! Dreeeeettt!" aku tersentak dari lamunanku ketika Kota Inten membunyikan deru belnya dengan keras.
Tiba-tiba aku merasakan seseorang menepuk bahu kiriku, "Jangan melamun, giliran kita akan naik!" katanya dengan suara berat.
Aku menoleh ke arah kiri. Kutengok Albert telah berdiri di sampingku memandang kapal sambil menghisap rokoknya dalam-dalam.
Albert Waihong adalah orang Ambon, sahabatku di KNIL. Ia seorang kapten di Reciment Speciaale Troepen (RST/Resimen Pasukan Khusus) yang merupakan gabungan pasukan baret merah dan hijau KNIL. Ia pernah bertugas di seantero kawasan Hindia Belanda, khususnya Jawa, Makassar, Ambon, dan kawasan timur lainnya.
Kupandang wajah Albert dengan tajam. Lalu kubuka percakapan. "Bagaimana dengan isteri dan anak-anakmu!?" tanyaku.
"Beta ajak mereka semua ikut serta. Beta yakin suatu saat kita akan kembali lagi ke tanah leluhur di Maluku!" katanya penuh yakin dengan logat Ambonnya yang kental. Sementara bibirnya memainkan asap rokok yang keluar dari mulutnya.
Di depan tangga kapal, kelasi memberi aba-aba agar kami segera naik dan mencari tempat. Dengan langkah lesu kami bergegas menaiki tangga kapal yang hampir penuh dengan orang-orang senasib dengan kami.
Setengah jam kemudian, tepat ketika azan Maghrib usai berkumandang, Kota Inten bergerak perlahan-lahan menyusuri air laut yang menghitam ditimpa buih riak-riak putih, beringsut meninggalkan dermaga Tanjung Priok menuju laut bebas.
Sore ini, Kamis, 21 Februari 1951 kami, para bekas serdadu KNIL, terpaksa meninggalkan tanah Hindia menuju Negeri Belanda. Sebuah keputusan fait d´accompli, kenyataan yang dipaksakan, bagi kami semua.
Sidang kabinet di Denhaag pada pertengahan Februari 1951 telah memutuskan memberangkatkan kami ke Negeri Belanda. Karena itu tak ada alasan bagi kami berlama-lama di Tanah Hindia. Bukankah perang telah usai, meski dengan akhir yang teramat menyakitkan bagi kami, kami terusir dari Tanah Hindia.

Dalam benakku makin bergelayut pikiran-pikiran berat. Kepalaku berputar-putar bagai dikelilingi bintang-bintang. Aku tidak ingin dikatakan sebagai pengkhianat oleh bangsaku, karena turut berperang di pihak Belanda. Bagaimanapun juga aku tetaplah yakin bahwa kemerdekaan Tanah Hindia bukanlah keinginan seluruh rakyat Hindia, ia hanyalah ambisi segelintir orang yang haus kekuasaan. Rakyat tetaplah rakyat, mereka hanya ingin hidup damai, aman, mudah mencari penghidupan sehari-hari. Mereka tidaklah mengerti masalah politik.
Lamat-lamat aku teringat kembali ceramah kiyai di surau desaku selepas Maghrib sebelum mengaji, sewaktu kanak-kanak. "Anak-anakku, kita semua, ummat manusia, merupakan keturunan Adam. Adam diciptakan Allah dari tanah. Kita dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Bumi ini adalah kepunyaan Allah, karena itu tidak ada seorangpun yang berhak mengklaim bahwa ia kepunyaannya. Maka siapapun yang mampu memerintah kita dengan adil akan kita terima, dan siapapun yang tidak mampu memerintah kita dengan adil akan kita tolak, meski ia dari dari bangsa kita sendiri ..."
Di malam yang tak berbintang itu, ketika lampu-lampu kota Jakarta sudah tidak nampak lagi dari geladak Kota Inten hatiku makin bergejolak keras. Aku ingin berteriak keras-keras agar seluruh bangsa Hindia mendengarnya: “Aku bukanlah pengkhianat, penjual bangsaku kepada penjajah! Aku adalah pembebas Tanah Hindia dari fasisme balatentara Jepang yang menebarkan penderitaan di Tanah Hindia. Kalian lihat Ratu Emma, Ratu Wilhelmina telah membangun kemakmuran di Tanah Hindia, lalu Jepang menghancurkannya. Para ekstrimislah yang selanjutnya menjerumuskan rakyat Hindia dalam kancah penderitaan yang tak berujung, lepas dari bayonet dan siksaan tentara Jepang jatuh kepada siksaan bangsa sendiri. Aku hanya melaksanakan tugasku menjaga keamanan dan ketertiban Tanah Hindia. Apalah arti kemerdekaan jika rakyat Hindia harus menderita. Aku tidaklah sekejam beberapa pemimpin pribumi Tanah Hindia yang membentuk front-front pengumpulan tenaga rakyat agar dieksploitasi balatentara Jepang yang sedang terancam kekalahan. Merekalah yang mengumpankan rakyat Tanah Hindia tak berdosa agar dimakan harimau Dai Nippon yang kelaparan dan terancam kekuasaannya. Merekalah penjual rakyat, merekalah penjual Tanah Air. Bukan aku! Kemerdekaan bagi rakyat Hindia tidaklah seindah kata-kata yang kalian dengungkan, karena kemerdekaan kalian yang kalian perjuangkan bukanlah kemerdekaan untuk segala bangsa Hindia!”
Sementara itu di luar sana suara mesin Kota Inten menderu-deru melawan ganasnya ombak Laut Jawa yang bersatu dengan angin, membawa kami ke negeri nan jauh tempat kami melabuhkan harapan, entah kapan kami akan kembali lagi. ******
Ruaq Indonesia Merdeka, Bu’uts, Cairo, 27/1/’07
---------------------------------------------------------
* Nama kapal Belanda yang mengangkut bekas anggota-anggota KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger/Tentara Hindia Belanda) asal Maluku dan keluarganya dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Rotterdam pada bulan Februari 1951.

NB. Terima kasih buat Alfian Hamzah wartawan PANTAU yang sempat "ngetem" bersama serdadu-serdadu Indonesia di hutan-hutan Aceh selama Darmil atas pinjaman kalimat-kalimatnya.

No comments: