Monday, January 22, 2007

AIRMATA TAK SELALU DERITA

Oleh: Farhan Kurniawan*

Malam itu aku begitu terharu, antara sedih bercampur gembira menggelayut jadi satu dalam hatiku. Sedih karena aku harus berpisah dengan teman-temanku yang selama ini menghiasi mata dan hatiku, sedih aku harus meninggalkan negeri ini yang hampir setengah dasawarsa menjadi negeriku, sedih harus meninggalkan almamaterku yang telah begitu banyak memberi bekal padaku serta dengan para dosennya yang penuh keikhlasan dan kearifan. Namun yang cukup membuatku bersedih adalah ketika aku harus meninggalkan asramaku tercinta, meninggalkan Tati yang hampir dua tahun ini menjadi kawan setiaku. Sebuah perasaan yang begitu susah untuk digambarkan.

Pukul 10.00 besok siang aku akan pulang kembali ke Tanah Air. Ini berarti aku akan berjumpa kembali dengan Ayah, Ibu, Indra dan Fitri adik-adikku, orang-orang yang kurindukan selama ini. Aku akan menapakkan kembali kakiku di Bandung kota kelahiranku. Kota yang membesarkanku, tempat aku bersekolah dari TK hingga tamat pesantren di Geger Kalong. Menikmati kembali dinginnya Paris van Java, lalapan Sunda dengan sambal dan ikan mas, sekoteng, dll. makanan-makanan yang hampir selama lima tahun ini hilang dari lidahku.

Aku duduk diatas ranjangku. Kubuka kembali koperku yang telah rapi, kukeluarkan buku agak tebal bersampul kulit kecoklatan yang hampir usang. Buku inilah yang selama ini dengan setia menemaniku, tempat aku mencurahkan segala suka dukaku dengan coretan-coretanku dari semenjak awal datang. Halaman-halamannya yang dulu putih bersih, kini agak kusam kekuningan. Warna-warni tinta yang menoreh diatasnya sudah tidak asli lagi, alias memudar. Kuruntuti halaman-halamannya dari awal hingga akhir.

Aku tersadar ketika Tati menepuk bahuku sambil tertawa.

"Selamat jalan, besok kamu jadi pulang, Fin. Tadi aku menerima telepon dari Wandi broker, tiketmu sudah oke!", kata Tati dengan agak keras.

"Alhamdulillah, thanks Tat", kataku menimpali.

"Titipanmu sudah kamu masukkan dalam tas?", lanjutku.

"Sudah, di kopor warna hitam", jawab Tati singkat.

"Insyaallah aku akan singgah di rumahmu sebentar,sebelum ke Bandung", kataku.

"Aku dah kirim SMS ke Ayah agar jemput kamu di Soekarno-Hatta sekalian belikan tiket kereta ke Bandung", kata Tati lagi.

"Oke boss, merci bien!", sambungku bersemangat.

***

Malam telah begitu larut. Kawan-kawan yang semenjak sore memadati kamarku telah kembali ke tempat masing-masing. Barang-barangku, juga titipan kawan-kawan telah kukemas rapi di sela-sela tiga kopor plus sebuah travel bag untuk pakaianku. Itulah barang-barang berhargaku selama hampir lima tahun di Mesir ini. Buku-bukuku yang berjumlah 5 kardus telah kukirim melalui kontainer hampir sebulan lewat. Kulihat di pojok kamar gelas-gelas kotor dan plastik bekas makanan ringan berserakan. Sementara Tati telah pulas dibuai mimpi dalam selimutnya, sesekali terdengar dengkur halus kecapekan.

"Kasihan", gumamku.

Beberapa hari ini ia sibuk menemaniku kesana kemari, ke Khan Khalili, Shobra, Tahrir, Nasr City, Dokki, entah kemana lagi. Sahabat setia tempat kami saling berbagi suka dan duka. Tempat curhat tentang keluarga, kuliah, organisasi, bahkan curhat tentang masalah-masalah pribadi yang tidak mungkin aku ungkapkan kepada orang lain.

Angin malam sejuk sepoi-sepoi bertiup dari arah jendela. Meskipun musim dingin telah mulai merangkak pergi, bukan berarti musim panas menggantikannya. Pada akhir bulan Maret seperti ini udara memang nyaman, meskipun terkadang terasa agak dingin atau agak panas. Namun tidaklah sedingin bulan-bulan sebelumnya, juga tidak sepanas bulan-bulan setelah ini.
Aku bangkit dari tempat tidur menuju saklar lampu, kutekan saklar itu ke arah off, kini ruanganku gelap gulita. Aku berjalan ke arah jendela, perlahan kusingkap tirai merah jambu penutup jendela agak lebar. Angin yang lebih keras menerobos masuk kamarku membuat terasa lebih sejuk dan nyaman.

Kutebarkan pandanganku keluar jendela kamarku. Gedung depan kamarku tampak begitu manis seperti biasanya, diterpa cahaya temaram lampu penerangan kekuning-kuningan dari sela-sela daun pepohonan yang dipermainkan angin malam. Gedung itu masih saja seperti dulu ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di asrama ini tidak berubah. Hanya kafetaria tempat aku dan Tati dulu membeli makan pagi jika malas dengan menu dapur kini telah tiada. Kafetaria itu telah dipindah ke gedung belakang, sebagai gantinya bekas kafetaria digunakan untuk tempat main tenis meja para penghuni asrama jika sore tiba. Jalan di depan gedungku juga masih seperti dulu-dulu, indah dan agak rimbun. Aku lihat batang mawar yang kami tanam di taman tepi jalan depan kamarku semenjak setahun lewat kini telah tinggi dengan beberapa tangkai kembang yang telah merekah menyambut musim semi.

Empat setengah tahun yang lalu aku tiba di negeri ini. Sebelum itu tidak pernah terlintas dalam benakku aku akan melanjutkan kuliah ke negeri ini. Hingga suatu hari ketika aku hampir menyelesaikan kelas VI di pesantrenku di Geger Kalong tiba-tiba seseorang menawariku, juga kawan-kawanku untuk melanjutkan kuliah kemari. Menurut orang yang menawari itu kuliah di Mesir enak, mudah, fasilitas lengkap, ada beasiswa, setiap tahun diberi tiket pulang balik untuk menengok keluarga. Sebuah tawaran menarik bagi kami yang masih lugu terhadap kata kuliah di luar negeri. Apalagi bagi kami yang kebanyakan berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah di Priangan. Aku dan kawan-kawan membayangkan bahwa kuliah di Mesir seperti kuliah di kota-kota Amerika Serikat ataupun Eropa sebagaimana aku baca dalam buku-buku dan majalah, karena kenalan kami yang menawari kuliah hampir selalu bercerita demikian.
Ketika maksudku berkuliah di Mesir ini aku ungkapkan pada ayah dan ibu, mereka tersentak kaget.

"Darimana biaya untuk kuliah, menghidupi kamu dan kebutuhanmu selama disana. Untuk membiayai kamu di pesantren serta biaya adik-adikmu saja terasa berat", kata ibu suatu kali.

"Anak perempuan tidak usahlah sekolah jauh-jauh. Apalagi kamu selama ini tidak pernah meninggalkan ayah dan ibu jauh serta dalam waktu lama. Kepergianmu selama 4 tahun mondok di Geger Kalong yang hanya berjarak tidak sampai 15 km saja dengan lima hari dalam sebulan kamu berada di rumah, ayah dan ibu masih khawatir. Apalagi membiarkanmu sendirian di negeri orang dalam waktu yang terlalu lama", kata ayah di depanku.

Jikalau aku betul-betul pasrah pada kehendak ayah dan ibu, maka aku hanya akan menemukan jalan buntu sebagaimana pikiran mereka. Namun perlahan aku mencoba meyakinkan mereka sebagaimana cerita kenalan kami meyakinkan kami semua.

"Mesir bukan dianggap luar negeri lagi, karena telah banyak masyarakat Indonesia dan pelajar-pelajar putri sebayaku disana. Jika bukan saat ini ketika ada kesempatan, kapan lagi?", kataku pada ayah dan ibu suatu saat.

"Kuliah di Mesir gratis, bahkan mendapat beasiswa lagi. Lebih mahal biaya untuk meneruskan kuliah di Indonesia dalam suasana krisis moneter yang mencekik seperti saat ini. Apalagi lulusan Mesir senantiasa mendapatkan tempat dan prioritas dalam suasana persaingan yang ketat di Indonesia", aku menirukan kata-kata kenalanku kepada ayah dan ibu.

Sampai pada akhirnya mereka berdua menyerah setelah mempertimbangkan masak-masak apa yang aku utarakan bersama beberapa kawan putri sebayaku dari Geger Kalong.

Dengan mengeluarkan sebagian tabungan serta sedikit sumbangan dari saudara-saudara ayah dan ibuku akhirnya aku berangkat ke Negeri Para Nabi ini.

Tahun-tahun tahun pertama di negeri ini begitu sulit aku rasakan. Adat dan kebiasaan masyarakatnya yang begitu aneh, sulit dipahami, jauh berbeda dari bayanganku semula, karena itu susah bagiku untuk beradaptasi. Belum lagi masalah bahasa, makanan, sukar dan sulitnya diktat di AlAzhar membuat semua permasalahan mengakumulasi jadi satu. Dan yang lebih menyakitkan hatiku, dan hati kawan-kawanku lainnya ternyata kenyataan hidup jauh berbeda dari cerita bombastis kenalan kami sewaktu di Indonesia dulu. Beasiswa harus dicari sendiri, fasilitas tidak ada sama sekali, apalagi tiket pulang-pergi yang pernah ia ceritakan ternyata hanya penyedap kata-kata saja. Tidak sedikit kawanku stres melihat realita ini, khususnya ketika memasuki musim dingin dekat-dekat ujian. Musim di negeri Pharao ternyata tidak begitu bersahabat terhadap kami orang-orang tropika. Aku teringat Nina sahabat karibku selama di Geger Kalong pada akhirnya meninggalkan kami untuk melanjutkan kuliah di Jakarta. Nina hanya bertahan setengah tahun saja di negeri ini. Aku melepasnya di Mator Gedid dengan perasaan sedih berlinang air mata. Namun, sebagaimana tekadku di depan ayah dan ibu sewaktu mengungkapkan isi hatiku hendak kemari dulu, aku akan bertahan selagi bisa dipertahankan. Kecuali jika ada hal-hal yang memang memaksaku hengkang dari sini, aku akan hengkang meski dengan perasaan terpaksa.

"Sudah terlanjur basah, mencebur sekalian. Siapa tahu di ujung perjalanan ada pelita terang yang mampu membawaku ke arah yang lebih baik", gumamku lirih suatu saat.

Meskipun aku seorang cewek, namun kekuatan dan kekerasan hati untuk menelusuri berbagai tantangan hidup tak kalah dengan cowok. Didikan ayah dan ibu pada diriku begitu kuat agar tidak menyerah begitu saja pada realita hidup.

"Hidup adalah perjuangan. Seberapa kuat perjuanganmu dalam hidup ini, sebegitu pula kebahagiaan dan kematanganmu", kata ibuku suatu malam padaku.

Sebagaimana kata pepatah dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Begitulah yang aku rasakan. Kawan-kawanku satu persatu tidak kuat menjalani kehidupan disini pada akhirnya menyerah. Namun tekadku yang tetap menyala ternyata membuahkan hasil.

Bukannya aku tidak pernah berputus asa selama disini. Aku ingat suatu hari tengah di tengah musim dingin pekat dua minggu sebelum ujian pada tahun pertama kedatanganku. Aku merasa stress berat. Ujian sebentar lagi, buku-buku diktat belum semua terbeli, rumah belum terbayar, sedangkan uang bekal telah habis.Uang bekalku yang hanya 300 dollar cukup untuk tujuh bulan setelah mengirit disana-sini. Pikiranku buntu pada waktu itu. Mau pinjam malu, tidak ada jaminan pasti kapan mampu mengembalikan, karena ayah dan ibuku tidak pernah menjanjikan padaku mengirim uang selama disini. Hendak bercerita banyak pada ayah dan ibu tentang kondisiku disini dengan harapan mereka akan mengirim uang padaku tidak mempunyai nyali. Apalagi jika aku melihat kehidupan keseharian keluargaku dan adik-adikku. Disamping sahabat-sahabat dekatku sudah angkat kaki semua, kecuali kawan-kawan yang aku temui disini. Aku pernah terpikir untuk pulang saja, bagaimanapun jika di rumah dekat ayah dan ibu aku tidak akan pernah mengalami hal seperti ini. Ini adalah hal pertama terberat yang pernah aku alami selama hidupku. Tak terasa aku menangis sesengukan sendirian di kamar.

Rupanya tangisku terdengar oleh Kak Fajria yang sedang tidur di kamar sebelah. Kak Fajria adalah seniorku. Ia berasal dari Jawa Timur telah 6 tahun tinggal di Mesir dan sedang menyelesaikan S2 Fakultas Tarbiyah. Meski ia sedang menempuh S2 namun Kak Fajria masihlah muda, berusia 23 tahun. Jauh berbeda dengan mahasiswi-mahasiswi ataupun mahasiswa disini yang kebanyakan berusia diatas 25 tahun ketika menempuh S2. Kak Fajria adalah profil menarik, supel, broad-minded, luas pergaulan, penuh pengertian, dan cantik semampai lagi. Hal inilah yang senantiasa menarik setiap mahasiswa untuk mendekatinya.

"Fin, kenapa?" kata Kak Fajria mendekatiku setelah membuka pintu kamarku.

Aku jadi kaget setengah mati, tak dinyana ternyata ada yang mendengarkan sesenggukanku yang terlepas. Padahal pintu kamar telah kututup rapat, lampu kumatikan, dan Nadia kawan sekamarku sedang menginap di rumah sepupunya di Rabiah Adawiyah. Terasa panas mukaku, airmataku langsung mengering ibarat buliran air terkenan benda teramat panas.

"Nggak ada apa-apa Kak", jawabku sambil mengusap-usap kelopak mataku berpura-pura terbangun dari tidur.

"Aku hanya mimpi buruk saja", lanjutku mencoba menepis tanda tanyanya.

"Fin, kalau ada masalah jangan dipendam sendiri. Nanti akan berpengaruh pada hati dan pikiran, kamu bisa sakit. Ungkapkanlah pada Kakak. Keberadaan Kakak disini untuk membantu kamu memecahkan permasalahan. Anggaplah Kak Fajria sahabat dan kakakmu sendiri. Percayalah, Kakak akan senantiasa membantu kesulitanmu. Jangan segan, apalagi malu, Fin. Biarlah Kak Fajria saja yang tahu permasalahanmu Fin. Kakak tidak akan bercerita pada orang lain", kata Kak Fajria lembut, "Kak Fajria tahu. Beberapa minggu belakangan ini kamu banyak berubah, Fin. Biasanya kamu periang, ceria namun kini kamu sebaliknya, banyak bersedih, terlihat memendam sesuatu. Matamu agak cekung, sembab, badanmu agak kurusan. Berterusteranglah, Fin. Kakak akan bantu semampu Kakak", lanjutnya.

Karena didesak terus, rasa segan pada Kak Fajria kini menjadi pupus. Sebaliknya aku merasakan sebuah kehangatan dan ketulusan pada diri Kak Fajria. Dengan agak malu-malu aku ceritakan segalanya dari awal keberangkatanku kemari hingga akhir.

"Fin, hampir semua kita yang menuntut ilmu disini pernah mengalami kesulitan finansial, meskipun tingkatannya berbeda-beda. Kesulitan finansial bukanlah aib, Fin", kata Kak Fajria padaku.

"Allah menciptakan manusia dengan rezeki yang berbeda-beda. Aib yang sebenarnya adalah jika kamu meninggalkan menuntut ilmu yang sudah ada di depan matamu serta menyia-nyiakan pengorbanan kedua orang tuamu", lanjut Kak Fajria.

"Kak Fajria pun pernah merasakan apa yang sedang kamu alami saat ini. Senior Kakak disini banyak membantu Kakak hingga Kakak dapat menempuh S2 seperti saat ini. Karena itu sudah selayaknya Kakak mewariskan kebaikan ini pada generasi setelah Kakak", tambah Kak Fajria.

Sampai disini aku merasakan kebesaran, kehangatan jiwa Kak Fajria. Bagiku Kak Fajria adalah profil sahabat sekaligus seorang kakak yang sempurna. Hingga aku merasa sayang pada Kak Fajria. Tempat aku menumpahkan segala keluh kesahku jika menghadapi berbagai kesulitan disini.

"Besok kamu minta tasdiq ke kuliah. Jangan lupa siapkan fotokopi paspor dan dua lembar foto. Kakak tunggu kamu di rumah. Habis Shalat Ashar kita pergi ke Roxy", kata Kak Fajria mengakhiri kata-katanya.

Malam itu aku tidak dapat tidur dengan nyenyak. Perasaanku bercampur antara malu, gembira, syukur, plong menjadi satu.

Hampir selama dua tahun aku mendapat bantuan dari sebuah jam'iyah khairiyah di Masjid Al Mu'min, kawasan Mansyiatul Bakry, dekat Roxy sebesar 160 Pound perbulan. Lumayan, lebih dari cukup. Hampir sebesar beasiswa Majlis A'la atau Al Azhar. Namun tak seorangpun mengetahui hal ini, kecuali Kak Fajria dan beberapa kawan dekatku saja.

Aku arungi studyku pada tahun pertama dengan lancar, memperoleh predikat maqbul. Pada tahun kedua jayyid. Pada akhir tahun kedua aku memutuskan berhenti untuk memperoleh bantuan tersebut karena aku telah mendapat beasiswa AlAzhar serta tinggal di asrama. Pada tahun itu juga Kak Fajria pulang ke Indonesia karena sudah menyelesaikan S2 dan orangtuanya menjodohkan dengan seorang doktor di Surabaya.

Alhamdulillah, selama dua tahun tinggal di asrama aku selalu menyelesaikan ujian dengan baik hingga aku mengakhiri studyku dengan predikat jayyid jidan di Fakultas Syari’ah Islamiyah.

Jikalau aku mengingat apa yang telah aku rasakan selama ini, serasa tidak mungkin untuk mengulanginya. Apa yang aku alami selama ini merupakan nikmat terbesar dari Allah padaku. Karena sudah seharusnya aku selalu mensyukuri. Aku teringat kawan-kawanku yang gugur satu persatu dan kembali ke Tanah Air karena berbagai sebab. Alhamdulillah, aku tetap bertahan meskipun dengan tantangan yang tidak mudah.

Aku hanya mendapatkan kiriman uang dari orangtuaku, ketika mereka aku kabari bahwa studyku telah selesai dan aku akan pulang dalam waktu dekat. Mereka mentransfer ke rekening Tati US$ 1500 untuk membeli tiket pesawat dan menyelesaikan berbagai kebutuhanku. Itulah uang pertama dan terakhir yang aku terima dari ayah dan ibu selama aku kuliah di Mesir ini.
Tak terasa air hangat meleleh membasahi kedua belah pipiku. Kuseka pelan-pelan dengan ujung bajuku.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar!", tiba-tiba aku tersentak kaget.

Aku baru menyadari, ternyata aku telah melamun hampir 3 jam lamanya di jendela kamarku.

"Ya Robb, aku belum tidur sama sekali hingga subuh begini. Padahal nanti pukul 10.00 aku ditunggu Pacific Airlines di Mator Gedid", kataku lirih.

Kututup kembali korden jendela kamar. Bergegas kupakai sandal jepit di depan pintu menuju kamar mandi mengambil air wudlu.

***

Siang itu terminal keberangkatan Mator Gedid penuh oleh hujan tangis kami. Serasa berat bagiku meninggalkan sahabat-sahabat setia yang mengisi hari-hariku selama hampir lima tahun ini. Kupeluk Tati, Nadia erat-erat air bening bertumpahan dari pelupuk mata kami, setelah itu kupeluk sahabat-sahabatku satu persatu. Kata-kata sudah tidak mampu lagi mengungkapkan isi hatiku. Sebagai ganti airmata dan sesenggukan menjadi ekspresi perasaan-perasaan kami.

Tepat pukul 9.30 dengan langkah-langkah berat aku memasuki ruang boarding-pass. Lambaian tangan sahabat-sahabatku serasa kepakan sayap-sayap hambar. Kata-kata perpisahan mereka tak ubahnya aubade kesedihan yang merasuk ke telinga.

Lamat-lamat mereka mulai hilang dari pandangan, termakan oleh pintu-pintu kokoh airport yang memisahkan kami. Aku percepat langkah-langkahku. Aku merasakan kesedihan dan kepuasan yang mendalam. Benakku kini dipenuhi bayangan ayah ibu, adik-adikku, Kak Fajria, Nina, dan kawan-kawanku yang telah lama memudar dari ingatanku selama ini.***
===

Koleylah Gedidah, medio April '05.
---------------------------------
* Mahasiswa Akidah Filsafat Al Azhar Kairo, peminat sastra, editor antologi cerpen "Ibuku Masih Perawan" PCIM-Kairo, editor novel "Perempuan Dalam Penantian" karya Aguk Irawan Munir.

No comments: