Friday, March 12, 2010

Ali Ahmad Bakathir; Sastrawan Arab Kelahiran Surabaya


Orang-Orang Hadrami


KITA mengenalnya sebagai negeri Al Ahgaf, negeri yang terkenal dengan kisah Nabi Hud as. Namun itu adalah zaman dulu. Selanjutnya terkenal dengan Hadramaut, negeri yang menerima dan menyambut Islam dengan ramah yang kemudian mempengaruhi sejarahnya dan negeri itu pun turut berperan dalam sejarah Islam.

Orang Hadrami adalah orang yang sadar dan suka bertualang serta memiliki instink berdagang yang kuat. Ia tidak suka tenggelam dalam ketenangan dan apa adanya. Namun mereka suka mengarungi bumi dengan kesadarannya untuk berpindah di bumi milik Allah yang luas ini melalui cara berdagangnya yang piawai.

Jika anda ingin mengenal orang Hadrami, anda tidak cukup mengunjungi Hadramaut dengan kota-kotanya yang bersejarah yang ada di Teluk Aden dan Laut Oman di selatan semenanjung Arabia--di utara Yaman--yang memiliki jejak-jejak jelas dalam lembaran-lembaran sejarah. Namun jika anda ingin mengetahui secara utuh hendaklah anda berkunjung ke kota-kota Semenanjung Arabia yang terkenal, anda akan mendapati seorangi pedagang Hadrami atau para pedagang Hadrami yang memiliki kedudukan tinggi dan terhormat di kalangan penduduk aslinya. Selanjutnya kunjungilah Afrika, khususnya pantai timurnya. Disana orang-orang Hadrami memiliki jejak yang jelas dan kuat. Begitu pula berkunjunglah ke kepulauan Indonesia (Nusantara) karena disana orang-orang Hadrami memiliki peran yang menakjubkan dan pernah memiliki kesultanan.

Pengembaraan orang-orang Hadrami ke berbagai penjuru dunia bukan hanya sebatas untuk berdagang. Disamping membawa barang-barang dagangan mereka juga membawa pemikiran dan akidah atau kepercayaan mereka. Mereka tidak menyebarkan pemikiran dan kepercayaan itu dengan tipu daya atau bujukan sebagaimana dilakukan oleh para missionaris Kristen pada zaman sekarang. Namun mereka menyebarkannya dengan teladan yang baik dan perilaku yang lurus, lemah lembut dan sopan santun.

Orang-orang Hadrami selalu menarik hati penduduk asli yang berinteraksi dengan mereka. Penduduk asli menerima perdagangan orang-orang Hadrami dan membeli dari mereka barang-barang dagangan, pakaian serta mengambil dari mereka sifat-sifat kebaikan yang selanjutnya berpindah kepada mereka dengan pergaulan yang baik dan menjaga amanat. Mereka menyambut baik orang-orang Hadrami yang membawa kepada mereka akhlak yang baik itu serta belajar dari mereka akidah atau kepercayaan yang membuat mereka menjadi teladan-teladan yang baik. Dengan teladan yang baik ini maka tersebarlah Islam diantara jutaan manusia. Para penduduk asli senantiasa merasa senang dengan kehadiran mereka yang telah menunjukkan kepada mereka akidah Islam untuk tinggal bersama mereka. Maka sejumlah besar orang-orang Hadrami tinggal bersama disana untuk berdagang dan membangun peradaban.

Orang-orang Hadrami dengan konsistensi keislamannya merupakan para penakluk yang tangguh yang membuka hati nurani dan perasaan. Dengan suri tauladan yang baik mereka telah menambahkan kepada ummat Islam berbagai bangsa untuk memeluk agama Allah, lebih banyak daripada penaklukan dengan pedang dan tentara-tentara penakluk.
Diantara para pedagang Hadrami yang menetap di kepulauan Indonesia adalah seorang lelaki yang bernama Ahmad Bakathir. Ia dan istrinya menetap di Surabaya, sebuah kota pelabuhan di Jawa Timur.

Disamping sibuk berdagang, Ahmad Bakathir juga melakukan aktifitas dakwah Islam.

Pada tahun 1910, Ahmad dikaruniai seorang anak lelaki yang kemudian diberi nama Ali.
Tidaklah diragukan bahwa nama tersebut menunjukan kecintaan dan penghormatannya kepada Imam Ali dan keturunannya yang memiliki kedudukan tinggi dan terhormat di negeri mereka dan kedudukan tinggi dalam hati mereka.

Pergi Ke Hadramaut


Tatkala Ali berusia delapan tahun, ayahnya mengirimnya kepada adik-adik ibunya keluarga Al Abi Basit di kota Sewun yang ada di Hadramaut untuk belajar. Tampaknya adik-adik ibu Ali merupakan keluarga ahli ilmu bahasa Arab dan agama islam.Ia tinggal bersama mereka dalam waktu lama dan belajar dari mereka serta guru-guru lain berbagai ilmu.

Belum genap Ali berumur tigabelas tahun ketika ia tertarik belajar syair-syair Arab, menghafalnya dan membuat bait-baitnya (nadhom). Ia hafal banyak sekali syair-syair kuno. Ia begitu tertarik dengan syair Al Mutanabbi yang digelari penyair Arab terbesar sepanjang sejarah. Al Mutanabbi telah mempengaruhi jiwa kepenyairannya sebagiamana ribuan penyair sebelumnya telah menorehkan pengaruhnya.

Tatkala istrinya wafat, ia bertekad meninggalkan Hadramaut ke Aden. Tidak lama ia menetap disana. Ia kemudian menaiki kapal berkelana pantai timur Afrika; bolak-balik antara Somalia, Ethiopia dan kota-kota sekitarnya namun ia tiada mendapatkan apa yang dicarinya. Kemudian ia pergi ke Hijaz dan tinggal disana selama lebih dari setahun antara Makkah, Madinah dan Taif. Zaman itu ketiga kota diatas tengah menyaksikan gerakan pertumbuhan sastra yang mekar yang bertiup dari Mesir dan Syam. Pertumbuhan itu berpengaruh pada para sastrawan muda disana.

Bakathir memiliki hubungan yang kuat dengan para sastrawan Hijaz. Jiwanya tiada tenang kecuali berkeumpul dalam majelis-majelis keilmuan dan sastra. Ketika itu para sastrawan Hijaz senantiasa menggelar majelis-majelis sastra di Taif. Mereka membacakan syair-syair dan mempelajari sastra serta berita-berita sastrawan arab. Disanalah Ali Ahmad Bakathir berkenalan dengan para penyair kontemporer khususnya Ahmad Syauqi Bek "Amir Asy Syuara'" dan Hafiz Ibrahim "Syair An Nil". Disini pula ia mengenal pertama kali drama syair melalui karya-karya Ahmad Syauqi. Ia amat tertarik dengan drama karena itu ia terdorong untuk menulis drama syair. Karya pertama drama pertama Ali Ahmad bakathir adalah "Hummam Fi Biladil Ahgaf". Ia berharap agar dapat menjadi seorang reformer sosial di Hadramaut. Konon menurut sebagian pengamat karya-karyanya, pada masa ini ia terpengaruh pemikiran Reformis Islam Sayyid Jamaluddin Al Afghany.
Menuju Kairo.

Membaca berita-berita tentang kegiatan sastra di Mesir yang aktif, maka ia pergi ke Kairo pada tahun 1934 dengan niat belajar Bahasa Arab dan Islam di Al Azhar. Namun setiba di Kairo ia merubah niatnya dan masuk Fakultas Sastra jurusan Bahasa Inggris di Universitas Fuad I (sekarang Universitas Kairo). Menurut sejumlah ahli sejarah berubahnya niat Ali ini karena dorongan beberapa sastrawan yang ia temui setiba di Kairo, khususnya ulama dan sastrawan Syria Muhibuddin Al Khatib. Hal tersebut karena arah islami dalam sastra dan kehidupan masa itu memerlukan seorang sastrawan yang menguasai agama Islam, kebudayaan dan sastra Arab yang mempelajari bahasa asing bagi mengcounter para penyeru westernisasi dalam kehidupan dan sastra, khususnya di Mesir. Ternyata pilihan Bakathir amatlah tepat, terbukti dari karya-karya sastranya yang ia tulis di kemudian hari yang mempertahankan arah islami asli dalam syair, drama dan novel.

Ali Ahmad Bakathir lulus dari Fakultas Sastra jurusan Bahasa Inggris pada tahun 1939. Kemudian melanjutkan belajar di Kuliyatul Mu'allimin (sekolah guru) dan memperoleh diploma pendidikan tahun 1940. Dengan ijazah ini ia bekerja sebagai seorang guru Bahasa Inggris di sekolah menengah di Mesir. Ia terus mengajar hingga tahun 1955 ketika dipindah ke Jawatan Seni yang baru didirikan. Dan Jawatan Seni ini terus berkembang hingga berubah menjadi sebuah kementerian yang bernama Kementerian Bimbingan Nasional (Wizarat Al Irsyad Al Qaumi). Ali Ahmad Bakathir terus menjadi pegawai kementerian itu hingga wafat pada tahun 1969.

Ketika berada di Kairo Ali Ahmad Bakathir dekat dengan ulama dan sastrawan Syria Muhibuddin Al Khatib pemilik koran Al Fath dan percetakan/toko buku As Salafiyah. Di koran Al Fath inilah ia memuat karya-karya syairnya. Dan di penerbit As Salafiyah, ia menerbitkan karya dramanya yang ia karang waktu berada di Taif "Hummam Fi Biladil Ahgaf" pada tahun 1353 H. Ia menjalin persahabatan dengan para penyair Mesir seperti Abbas Mahmud Al Aqqad, Kamil Ash Shairafy dan Ibrahim Abdul Qadir Al Maziny. Para sastrawan Mesir mengagumi kepenyariran Bakathir serta kemampuan satranya. Selanjutnya ia menjalin hubungan persahabatan yang luas dengan para sastrawan dan ulama Arab, antara lain Is'af An Nasyasyiby (Palestina), Badr Syakir As Sayyab (Irak), 'Alal Al Fasy (Maroko), Al Fudhail Al Waratlany (Aljazair), dll.

Bakathir banyak mempublikasikan karya-karya sastranya di berbagai majalah Arab, antara lain majalah "At Tahdzib" yang diterbitkan sendiri oleh Bakathir bekerjasama dengan pada sastrawan Sewun di Hadramaut. Nama majalah ini menyiratkan arah reformasi yang ditempuh Bakathir semenjak masa dini dari kehidupan sastranya. Sebagaimana karya-karya Bakathir diterbitkan oleh majalah dan koran: Al Wady, Al Ma'rifah, Al Fath, Ar Risalah, Ats Tsaqafah, Al Usbu', Appolo, Ar Risalah Al Jadidah. Dimana kesemua majalah dan koran diatas merupakan acuan terpenting dalam study syair-syair beliau.

Bakathir aktif turut serta dalam kegiatan kebudayaan di Mesir. Ia adalah anggota Komisi Syair dan Cerita pada Dewan Tinggi Pemerhati Seni, Sastra dan Ilmu Sosial. Ketika dikeluarkan undang-undang spesialisasi sastrawan, Bakathir adalah orang pertama yang memperoleh beasiswa spesialis sastrawan selama dua tahun. Dan masa dua tahun ini merupakan masa kecemerlangan sastra Arab dan sejarah Islam. Dalam dua tahun itu Bakathir telah menulis perjuangan besarnya dalam sejarah Khalifah Umar bin Khattab. Karyanya itu sebanyak sembilanbelas jilid yang menggambarkan sisi-sisi kecemerlangan Khalifah Umar yang memiliki pengaruh mendalam dalam sejarah Islam.

Bakathir sering mengunjungi Perancis dalam misi study umum dimana ia membaca karya-karya sastra Perancis pada tahun 1954 dan 1956. Lalu Rumania dan Uni Soviet sebagai anggota delegasi sastrawan Mesir yang mendapat undangan persatuan penulis Rumania dan persatuan penulis Soviet. Pada tahun 1958 ia mewakili Republik Persatuan Arab dalam konferensi penulis Asia Afrika pertama di Tashkent.

Beberapa Karya Bakathir
Doktor Najib Al Kailany, salahseorang perintis sastra Islam di Mesir, pernah menceritakan tentang pembicaraannya dengan Bakathir. Semua Bakathir ingin menjadi seorang ahli Hadits. Karena itu ia mendalami ilmu hadits, riwayat dan derajat Hadits. Ia telah melangkah jauh dalam ilmu Hadits, tapi ternyata kemudian takdir membawanya menuju sastra.

Bakathir telah mempersembahkan tidak sedikit karya sastra yang terkait erat dengan nilai-nilai Islam, sejarah Islam dan tokoh-tokoh Islam yang memiliki peran dalam persistiwa-peristiwa besar.

Ia termasuk tokoh yang turut serta dalam mendirikan "Lajnatun Nasyr Lil Jami'iyin" atau Komite Penerbitan Untuk Universitas di Mesir bersama dengan tokoh-tokoh sastrawan terkemuka Mesir Abdul Hamid Jaudah As Sahhar, Naguib Mahfouz, Sayyid Qutb, Muhammad Abdul Halim Abdullah, dll. yang berperan mencetak dan menerbitkan buku-buku sastra serta buku-buku sekolah dan memiliki penerbit "Maktabah Misr" di kawasan Al Fagallah yang terkenal.

Bakathir juga telah menerjemahkan karya-karya Shakespeare dalam usianya yang relatif muda. Ia menerjemahkan "Romeo dan Juliet" pada tahun 1937 dalam bentuk syair dan termasuk tokoh pertama yang memasukkan aliran syair moderen dalam satra Arab kontemporer.
Karangan lain Bakathir yang terkenal adalah "Wa Islamahu" yang dicetak berulang-ulang dan menjadi teks wajib bagi sekolah-sekolah menengah di Mesir selama bertahun-tahun dan terkenal di mana-mana. Kisah ini menggambarkan era yang unik dari sejarah Islam dan kegigihan Islam dalm menghadapi agresi Tatar. Cairnya sektarian, nasionalisme, ras dan memunculkan tokoh Islam yang mampu menaklukkan tantangan dan pengkhianatan.
Setelah itu ia menulis kisah "Sirah Syuja'" yang hampir mirip dengan buku sebelumnya. Disamping menulis karya-karya teater islami kecil dalam satu atau dua babak yang khusus ia tulis untuk majalah-majalah mingguan dan bulanan.


Kemudian ia menulis "Harut dan Marut" yang--ceritanya berasal dari Al Qur'an—membahas kekuatan manusia, martabatnya, keuletannya dangan kemauan yang kuat dalam menghadapi kecenderungan hawa nafsu dan sikap tamak. Sebagaimana ia menulis "Isis dan Osiris" yang merupakan mitos Fir'aun dengan gaya moderen dan memunculkan kesetiaan rumah tangga (keluarga), ketinggian cinta manusia, kesabaran manusia dalam menghadapi takdir dan berbagai peristiwa dan kecemerlangan pemikiran dan spirit dengan kebebasan hakiki. Selanjutnya "Jalfadan Hanim" (berbahasa 'amiyah Mesir), "Hablul Ghasil" karya sandiwara komedi yang indah dan kaya dengan satire.(farhankournia)



1 comment:

Anonymous said...

Saya sangat suka situs Anda. Excellent konten. Silakan lanjutkan posting cotent mendalam tersebut..